Bagaimana Adikku Menjadi Vegan
Ayah menyewa sebidang tanah untuk menanam sayur-sayuran, buah-buahan tanaman perdu, bahkan tembakau untuk pipa rokoknya. Dia segera menyadari bahwa musuh utamanya dalam usaha ini bukanlah hujan atau kekeringan, melainkan siput.
Setelah serangan pertama, dia menaruh pelet siput, tetapi makhluk-makhluk itu pasti sudah kebal. Keesokan paginya, siput-siput masih di sana. Sedikit lemah, bukan berarti selamanya, tetapi mulai pulih. Setelah itu, Ayah mempekerjakan aku dan adik laki-lakiku sebagai pengumpul siput.
Kami merangkak menyusuri barisan kubis dan selada dengan stoples berisi air garam, mengumpulkan makhluk-makhluk yang hampir mati. Dibunuh untuk kedua kalinya, mereka akhirnya tetap mati.
Ayah memberi kami upah seratus per siput. Mungkin kami sedikit melebih-lebihkan hitungan kami. Ayah tidak akan menghitung bangkai-bangkai itu.
Adikku anak yang pendiam, yang suka berpikir mendalam. Overthinking.
Melihat Ibu menyiapkan ayam untuk makan siang di hari Minggu, dia bertanya,
"Apakah ayam itu mati? Seperti siput?"
Jawabannya jelas. Tak seorang pun menjawab.
"Aku tak suka makhluk hidup yang mati," katanya. "Aku hanya akan makan sayur-sayuran."
Dia anak yang punya prinsip. "Dan aku tak akan membunuh siput lagi," tambahnya.
Aku tak tega mengatakan bahwa sayur-sayuran itu hanya bertahan hidup karena kami telah membuang siput-siput itu.
Bagaimanapun juga, penghasilanku akan berlipat ganda.
Cikarang, 2 Desember 2024
Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H