Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Teman

11 November 2024   16:53 Diperbarui: 11 November 2024   17:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar dengungan tawon di udara saat kami berlari melewati area piknik dengan bangku-bangku retak dan kulit kayu kasar menuju pusat kebugaran luar ruangan.

Peralatannya mengkilap. dicat dengan warna-warna yang menenangkan, perak dan hijau belalang.

Aku menaiki mesin ayun kaki terlebih dahulu. Menempatkan kaki di platform kecil, aku menggerakkan kakiku maju mundur dan terbang. Makhluk tanpa lutut memanjat ke awan. Aku dapat melihat melintasi garis semak belukar di sekitar tepi taman hingga ke jalan di seberang. Burung dengan suara aneh itu berteriak, "Lebih tinggi, lebih tinggi."

Aku datang ke sini hampir setiap hari bersama Nella. Dai putri kerajaan yang tangguh dan aku wanita yang menyamar menjadi ksatria berbaju zirah. Kami berdua trengginas dan menghadapi musuh bersama-sama. Kami harus tetap bugar untuk menghadapi Lord Baceprott dan antek-anteknya. Kami berlutut di mesin tarik lengan ke bawah dan masing-masing memegang gagangnya. Kursi itu meluncur ke atas sebelum kami menjatuhkannya dan mengulanginya.

Ibu berkata kami tidak boleh mengganggu siapa pun yang menggunakan pusat kebugaran dengan benar. Beberapa orang mendapat resep untuk datang ke sini karena mereka perlu menurunkan berat badan. Jika mereka beruntung, mereka juga bisa berbicara dengan seseorang tentang betapa sulitnya semua ini.

Kami telah selesai menggunakan mesin lengan dan hendak berebut sepeda statis ketika kami bertemu Alexis pada hari pertamanya di pusat kebugaran. Dia bilang jangan panggil dia tante.

"Aku disuruh berolahraga," katanya sambil tertawa, "tetapi batang pohon ini tidak mudah bergerak."

Celananya terbuat dari kain yang tidak pernah kusut tetapi melekat sehingga kami bisa melihat pahanya yang buncit saat dia duduk. Kami menurunkan palang ke arahnya sehingga dia bisa memegangnya dan menariknya. Tidak terjadi apa-apa. Dia memberi tahu kami bahwa bahunya tidak simetris sejak dia menjadi bidan. Aku tidak mengerti apa maksudnya tetapi tidak ingin bertanya. Kami masing-masing menarik satu palang untuk membuatnya memulai dan dengan meringis dia membuat mesin itu bergerak. Alexis berteriak, seperti Ayah saat dia melihatku bermain sepak bola. Tidak masalah kalau itu tendangan yang bagus. Ayah ia selalu terdengar gembira.

Aku sedang mengalami kemenangan beruntun, Alexis memberi tahu kami. Kami menemuinya hampir setiap hari sepulang sekolah dan mendorongnya untuk mencoba peralatan berikutnya. Ketika kami membawanya ke mesin ayunan kaki, dia hampir benar-benar lepas landas. Senyumnya membentang dari alisnya hingga ke bagian yang disebutnya dagu bawahnya. Dagu yang lebih besar tidak ikut terangkat karena enggan menyusut setiap kali berkunjung. Alexis melepaskan celana panjang yang ketat dan mulai mengenakan celana jogger.

Kemarin kami melakukan salto di atas rumput dekat jalur skate sambil menunggu Alexis. Anak-anak skuter datang dan pergi. Mereka aneh jadi jangan coba-coba mengganggu kami.

Pada pukul lima kami pulang dan bertanya kepada Ibu apakah dia bisa mencari tahu apa yang terjadi pada Alexis. Dia mengatakan bahwa mengejar-ngejar wanita yang belum pernah dia temui dan terus mengiris wortel menjadi potongan-potongan kecil dapat dianggap mengganggu.

Aku melihat tangannya semakin berurat.

Aku bangun lebih pagi dari biasanya dan begitu aku turun, Ibu mematikan radio plastik merah yang berasal dari rumah nenek. Dia punya berita untukku.

Dalam waktu satu jam, kami berjalan cepat melewati unit anak-anak kuning tempat kami datang saat Jordan sakit dan masuk ke rumah sakit sungguhan. Aku mengintip di balik tirai ke pasien yang tampak kusut. Mereka butuh tambahan isian untuk menambah bagian tubuh mereka yang terkulai. Ibu bilang aku bersikap kasar dan harus tetap menatap lurus ke depan. Aku mengingatkan Ibu bahwa dia berjanji akan memberiku sarung tangan plastik untuk bermain dokter-dokteran.

Di bangsal jantung, Alexis dikelilingi oleh monitor. Nella menjadi pemalu maka aku yang berbicara. Kata-kata Alexis saling bersahutan.

"Kalian... benar-benar permata," katanya dan bertanya kepada Ibu apa yang telah dia lakukan sehingga pantas mendapatkan anak perempuan sepertiku.

Ibu menepis pujian itu dengan beberapa pertanyaan medis lalu duduk dan melihat ponselnya. Aku bertanya pada Alexis apakah dia bisa mengangkat lengannya dan dia mengangkat lengan kanannya tetapi lengan kirinya hanya bergerak sedikit, seperti hewan kucing yang bergerak-gerak saat tidur. Ibu bilang fisioterapis akan membantu. Alexis menyodok lengan yang enggan itu dengan bintik-bintik matahari dan kuku berwarna mencolok.

Ketika kami beranjak pergi sebelum dokter datang, dia mencondongkan tubuh ke depan dengan canggung untuk memelukku. Aku membayangkan tentakel gurita menahannya di tempat tidur.

"Seolah-olah kamu mendapatkan seorang nenek," kata Ibu saat kami lolos dari cengkeraman rumah sakit.

Aku tidak ingin membayangkan dokter itu mengintai seperti serigala di balik tirai Alexis.

"Dia sama sekali tidak seperti nenek!" balasku. "Dia temanku."

Cikarang, 11 November 2024

 

Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun