Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ulang Tahun

7 November 2024   21:21 Diperbarui: 7 November 2024   21:37 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Ketika Lala berumur dua belas tahun, dia merayakan ulang tahun papanya yang ke tiga puluh tiga.

Sebenarnya belum waktu ulang tahun papanya. Itu dua minggu sebelum ulang tahunnya, tetapi papanya harus berangkat menjalankan misi dalam lima hari.

Lala menganggap pesta itu membosankan. Ada banyak orang dewasa di sana, minum minuman berbau yang tampak seperti soda tetapi terasa pahit saat dia menyesapnya dari gelas plastik papanya. Papanya sedang berbicara dengan orang dewasa lain saat itu.

"Jaraknya hanya enam belas tahun cahaya," kata papanya. "Kami tidak yakin seberapa keras kami dapat mendorong stardrive, tetapi kami juga perlu menyeimbangkan efek relativistik."

Lala berjalan ke dapur untuk mencari mamanya. Dia berdiri di dekat wastafel, sendirian.

"Mama?" kata Lala, menarik roknya.

Mama Lala menoleh untuk menatapnya. Matanya merah dan pipinya basah.

"Waktunya tidur," kata mamanya.

Ketika Lala berusia enam puluh lima tahun, dia merayakan ulang tahun keempat puluh papanya.

Dia nyaris tidak mengenali pria yang memeluknya saat pelayan mengarahkan kursi rodanya ke restoran.

"Gadis kecilku," kata papanya, matanya berbinar.

Mereka membawakan sepiring makanan yang tidak membuatnya alergi. Dia menelannya dengan jus apel. Lala merasa lelah di tengah makan malam, tetapi mencubit lengannya di bawah meja agar tetap terjaga.

Dia tetap tinggal sampai semua tamu lain pergi. Jumlah mereka tidak banyak.

Pelayan itu membawakan Lala segelas susu hangat, dan secangkir kopi untuk papanya. Kopi itu aromanya harum.

Mereka mengobrol selama hampir satu jam. Papanya bertanya tentang mama Lala, tentang apa yang terjadi pada keluarganya selama setengah abad terakhir, bagaimana mereka hidup tanpanya.

Mama Lala telah menikah lagi ketika mereka mengira wahana antariksa papanya hilang, hancur selama percepatan awal melesat dari tata surya.

"Mama tidak pernah berhenti mencintai Papa," kata Lala kepada papanya.

Dia menunjukkan foto keluarga yang disimpan mamanya sampai dia meninggal, dan yang masih dibawa Lala di tasnya.

Papanya menangis tanpa suara.

Ketika restoran tutup, papa Lala membantunya masuk ke taksi yang sudah menunggu. Dia melihat Lala batuk dan bertanya tentang kesehatannya.

"Aku sudah tua," katanya, memaksakan senyum. Dia tidak ingin memberi tahu papanya tentang kanker.

Empat hari kemudian, Lala mendapat telepon dari Badan Antariksa. Mereka menemukan papanya meninggal di apartemennya, overdosis ibuprofen yang diminum dengan sebotol wiski.

Mereka mengatakan bahwa papanya tidak merasakan sakit sama sekali.

Catatan itu berbunyi:

"Tidak ada orang tua yang boleh hidup lebih lama dari anaknya."

Cikarang, 7 November 2024

Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun