Dunia terasa sunyi tanpa dengkuran suamiku dan pipinya yang gemuk bergerak ke dalam dan ke luar seperti sedang meniup peluit.
Dia sudah meninggal.
Aku bangun dari tempat tidur dan membuka tirai jendela. Seekor anjing entah milik siapa sedang buang air besar di halaman depan kami. Matahari bersinar di atas gerobak dorong merah milik Bu Bariah, janda Sobari, saat dia mendorongnya di sepanjang jalan setapak menuju pasar.
Aku mengenakan pakaian berkebunku.
Halaman belakang penuh dengan tunggul dengan akar tunggang seperti tongkat, sulit untuk mencabutnya di tengah panas.
Aku beristirahat sebentar di bawah naungan kelembak merah, daunnya menyerupai telinga gajah, lalu kembali ke kamar tidur yang sekarang pengap.
Dia selalu bau, tetapi belum pernah separah ini.
Aku duduk di seberang ruangan. Begitu banyak kenangan. Kalau kamu bisa meremasnya, kenangan akan menjadi bongkahan kotoran yang halus.
Aku tertidur, lalu aku bangun.
Aku berjalan ketunggul-tunggul di halaman belakang. Matahari merendah. Bayanganku berjalan di depanku menuruni tangga menuju taman dan meletakkan kepalanya di lubang sampah kompos. Gumpalan bayangan muncul, membentuk bercak-bercak kegelapan, bergabung dan kepalaku menghilang.
Aku mengunjungi Bu Bariah untuk meminjam gerobak dorongnya 'untuk mengangkut sesuatu yang busuk ke tempat sampah kompos.'
"Kedengarannya agak mencurigakan bagiku," katanya sambil mengedipkan mata. "Kamu tidak boleh memakai gerobak merah karena masih baru, kalau-kalau kamu ketahuan. Kamu bisa menggunakan yang biru tua."
"Gerobak tua berkarat itu?"
"Kalau itu bisa untuk Pak Sobari..." katanya.
Cikarang, 19 September 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI