Sewaktu muda, dia mengoleksi kerang laut. Kesempurnaan sangat penting. Tidak ada goresan atau retak, bagian luarnya kokoh dan abadi. Warnanya cemerlang dan belum pudar karena sinar matahari.
Dia menyukai warna merah marun dengan bintik-bintik lembut bersemu hazel, seperti jaket kulit kesayangannya. Ujung atasnya selalu melingkar ke satu titik menuju ketakterhinggaan. Dia mengisi rumahnya dengan cangkang-cangkangkosong.
Seuntai kerang tergantung di gagang pintu. Lem merekatkan cincin kerang abalon mutiara yang mengkilap, melingkari cermin sehingga dapat dikagumi berulang-ulang. Warna aprikot yang lembut menjadi inspirasi untuk tirai yang ia gantung, menempel di dinding yang dicat seperti samudra nan semarak.
***
Kini, setelah menjadi lansia, saat berjalan di pantai, aku mengoleksi tulang belakang sapi, tulang paha kambing yang berumur pendek, tengkorak hewan pengerat, tulang rahang yang bercerita tentang masa lalu.
Jiwa-jiwa yang hidup di pedalaman, relik mereka yang berpori-pori mengarungi jeram sungai hanya untuk domuntahkan ke laut. Dan, setelah beberapa lama mengembara tanpa tujuan, mereka terdampar di pantai untuk kujadikan koleksiku.
Aku menatanya di serambi sampai matahari mengubah warna pucatnya menjadi putih bersih. Bulan memudarkan rona kemerahan yang tersisa. Dan tepat sebelum menghilang sepenuhnya, aku membawanya ke dalam dan memajangnya di ambang jendela.
Cikarang, 19 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H