Pria memakai rompi pengaman menekan tombol dan kami memulai perjalanan. Di belakangku ada sebuah koper. Sudut-sudutnya yang tajam menusuk punggungku. Di depan ada kotak kardus yang kendur disegel banyak lakban. Rumbai-rumbai tutup plastik hitam menampar wajahku, lalu kami memasuki dunia cahaya.
Ada wajah-wajah di sekeliling, cemas, tidak sabar, ingin mengambil barang-barang mereka dan keluar dari sana.
Siapa yang ingin berlama-lama lebih lama dari yang seharusnya di tempat seperti ini?
Di sekelilingku, wajah-wajah berseri-seri karena mengenali, tangan-tangan terulur. Aku terus berjalan tanpa diambil, di tikungan satu, tikungan lain, keluar ke udara dingin yang bergema di ruangan bongkar muat, tempat lebih banyak barang bawaan ditambahkan ke sabuk sebelum rumbai-rumbai tutup plastik menyerangku lagi.
Sebuah wajah menjulang di atasku, sebuah suara terdengar.
"Ini punyamu?" tanyanya.
"Bukan," jawabnya. "Sama sekali tidak seperti punyaku. Punyaku bagian atasnya berwarna kuning."
"Maaf," kata suara pertama, dan wajah itu berpaling.
"Itu dia!" Terdengar seruan, tetapi itu bukan untukku.
Karusel bagasi terus berputar. Barang bawaan semakin sedikit. Semakin sedikit orang yang menunggu. Dan akhirnya, aku benar-benar sendirian.
Ban berjalan berhenti.
Aku turun. Aku punya beberapa uang receh di saku, cukup untuk membeli roti dan air mineral di mesin penjual otomatis. Aku makan, minum, dan mencari bangku untuk tidur. Saat sabuk menyala lagi, aku bergegas kembali, ingin diambil.
Cikarang, 14 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H