Selama menunggu, ayahku duduk dekat tempat tidur di kursi yang diseretnya dari ruang makan. Nenek dan Kakek, saat mereka tiba, melakukan hal yang sama.
Di pagi hari, aku dengan lembut menarik rambut ibuku dari bawah bantal dan menyisir helai rambut sejajar. Nenek memegang cermin tangan di atas wajah ibuku untuk menunjukkan kepadanya betapa bagusnya hasil sisiranku.
Saat makan siang, aku melihat ayahku memperhatikan Ibu untuk melihat tanda-tanda perubahan sebelum aku kembali keluar untuk bermain. Kemudian, di sore hari, ketika sinar matahari yang merendah menerobos tirai, menciptakan jeruji di atas tempat tidurnya, Kakek dan aku duduk berhadapan dan bergantian membaca.
Terakhir kali aku menyelinap masuk, Nenek sedang mencondongkan tubuh ke ibuku sambil memegang cermin di atas mulutnya yang menganga. Aku menggeliat ke tempat tidur, memposisikan wajahku di bantal di sebelah wajahnya.Â
Di cermin itu, aku dapat melihat kami: garis alis yang sama, mata yang sama, rumah yang sama, sebelum napasku berubah dan terpancar ke permukaan cermin dan uapnya menutupi kami berdua.
Kini saat aku melewati cermin di rumah, di kantor, di toko furnitur, aku suka mengembuskan napas di permukaannya, menyaksikan keberadaanku mengembun di kaca hingga bayanganku hilang dan aku bisa melihat kami berdua.
Cikarang, 9 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H