Seekor burung murai bertengger di atap gudang, mematukkan kicaunya pada angin.
Cacacacacak.Â
Aku melihat lidahnya bergetar karena kuatnya keluhannya. Tampak seperti hendak muntah. Dadaku bergejolak dan air mataku jatuh.
Seekor burung murai tak dapat membawa lebih banyak kesedihan daripada yang sudah ada di sini.
Ia mengepakkan sayapnya dan terbang menjauh.
Aku mengenakan kemejaku, memakai jaketku dan mengikat dasi yang kupinjam tadi malam dari Tuan Bagas tetangga sebelah.
"Kau masih suaminya. Akan selalu begitu," kata Tuan Bagas, berharap, kukira, bahwa aku akan setuju, untuk mengamankan status jandanya, untuk mengesahkannya.
Aku memikirkan istriku, dan terdiam.
"Ya," kataku, "dia akan selalu menjadi milikku."
Cermin lemari membuat sayap di lenganku, bulu di dadaku.
Lingkar mataku bagai manik-manik hitam berhantu.
Aku membuka mulutku untuk memanggil istriku, dan teringat bahwa dia telah tiada. Sebelum aku bisa menelannya, kicauan panjang keluar dari tenggorokanku
Cacacacacak.
Cikarang, 8 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H