Aku punya teman yang rapuh seperti kaca. Bahkan kata-katanya pun berupa serpihan.
Aku mencabutnya dari kulitku dan menepuk-nepuknya pada kuncup-kuncup darah. Bekas luka bermekaran di lenganku. Aku menurunkan lengan bajuku dan tidak seorang pun tahu.
Dia mendengar tentang kematian dalam anggur merahnya. Dia memberi tahuku bahwa berita duka membuat suara terbanting yang cukup keras untuk menjatuhkan kristal dari rak lemari. Aku menyapu keluar pintu belakang saat dia tidur.
Pada hari Selasa kami bermain biliar di tempat umum. Meja-mejanya bernoda saus dan kain mengilap licin karena sering dipakai.
Kami menaruh koin kami di slot dan mengambil empat belas atau lima belas bola. Dengan gerakan alisnya, pelayan bar bergegas membuka meja.
Sering kali dia yang menang.
Pada malam-malam lain dia mengoleskan memar yang diarsir dengan hati-hati ke kelopak matanya, melapisi bibirnya dengan Purple Obsession, dan keluar tanpaku.
Terkadang dia bergoyang di ayunan terasnya di bawah sinar matahari. Cahaya yang dibiaskan prisma pecah menyala-nyala.
Aku duduk di kursi berpalang, mencondongkan tubuh ke depan, mengabarkan tentang rahasia. Dia melontarkan jawabannya. Racunnya membakar.
Aku tidak tahu mana yang paling menyakitkanku: pendarahan, penyapuan, kehilangan, rasa terbakar. Namun, hembusan angin di pintulah yang menghentikanku dari tidur.
Cikarang, 7 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H