"Itu tempat paling terpencil di Bumi," kata pria itu kepadanya. "Hanya bisa diakses lewat laut."
James mengerang. Suasana tenang di pelabuhan, tetapi begitu di laut lepas kapal mulai bergoyang dan dia tidak dapat berdiri tegak. Apa gerangan yang merasukinya hingga menerima tawaran pria itu untuk pergi?
Dia berguling di ranjangnya. Dia tidak muntah, tetapi itu lebih baik daripada pusing yang mengerikan yang dia rasakan setiap kali dia berdiri.
Terhuyung-huyung di sepanjang lorong, lalu memanjat tangga, berpegangan pada pagar. Ada kursi rotan di dek belakang. Tetapi saat berjalan ke sana, pusing yang mengerikan itu datang lagi. Dunia menjadi miring, mengkhawatirkan. Dia berlutut, merangkak ke sofa dan memanjatnya. Pusing itu berlanjut. Sepanjang hari dan sepanjang malam dia tetap berbaring, tidak dapat meletakkan kakinya tanpa dunia berputar di luar kendali.
Keseimbangannya hilang, seolah-olah dia mabuk karena minuman dengan kadar alkohol tinggi. Namun, dia tidak minum apa pun kecuali air.
Dan tidak bisa makan apa pun.
***
Siang hari.Â
Dia mendengar para awak berteriak.
Meninggalkan tempat tidurnya, dia menaiki tangga menuju dek. Kapal masih bergoyang, tetapi rasa pusingnya telah hilang sepenuhnya. Dia menuju ke pagar tengah kapal, lalu menatap.
Tujuan mereka muncul di cakrawala. Dia melihat tebing-tebing yang menjulang tinggi, ngarai, tanjung.
Ada hutan hujan, dan tanjung-tanjung yang dimahkotai pohon pinus yang berdiri sendiri. Benteng yang kokoh dan sangat indah.
Pitcairn Island.
Cikarang, 7 September 2024
Â
*Terinspirasi novel Pitcairn's Island (Charles Nordhoff dan James Norman Hall)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H