Lelaki itu duduk di belakang meja kayu sonokeling.Â
"Duduklah," katanya sambil menawarkan kursi.
Aku menerima tawarannya dan membaca papan namanya. 'Rayhan Rawidh'. Penampilannya mengingatkanku pada seorang pembawa Dunia Dalam Berita TVRI tahun 1970-an.
"Silakan," kata Rayhan, tanpa mengalihkan pandangan dari sebuah buku besar bersampul kulit yang terpentang lebar, tergeletak di atas meja. Tulisan di halaman yang menguning itu terlalu kecil untuk kubaca, apalagi dari arah terbalik.
Aku berdehem. "Yah, ideku adalah seorang pria petualang yang mencari cinta di ibu kota, tapi malah menemukan kursi roda yang telah dibuang di pusat daur ulang. Sesuatu memaksanya untuk mencoba melacak pemilik sebelumnya. Seiring berjalannya cerita, kursi roda menjadi metafora jalan hidup protagonis. Novel itu akan berjudul 'Playboy Ibu Kota'."
"Ceritakan lebih banyak."
Aku mengembangkan ideku sementara Rayhan menjelajahi halaman-halaman buku, menelusuri kemajuannya dengan jari telunjuknya.
Hembusan angin menerpa wajahku saat dia membalik halaman, menebar bau apek yang samar-samar. Setiap kali aku berhenti bicara, dia bergumam, "Hmmm, hmmm," memintaku untuk terus lanjut.
Ketika Rayhan selesai memindai halaman terakhir, dia berkata, "Tidak, ide itu belum terdaftar. Anda bebas melanjutkan."
***
Setahun kemudian, setelah mencapai tahap penyuntingan akhir novelku, aku berjalan-jalan sore hari untuk melihat-lihat toko buku. Aku sedang menelusuri rak rilis buku terbaru ketika darahku membeku.
Di sana, menatap balik, sebuah sampul buku berjudul Playboy Ibu Kota oleh Rayhan Rawidh.
Cikarang, 21 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H