Kita duduk di meja pojok kafe ruang tunggu keberangkatan. Setelah dua puluh tahun percakapan yang akhirnya luput dari ingatan dan tidak ada lagi yang tersisa.
Keponakanku terjatuh di atas lututnya. Dia berumur enam belas bulan, di awal kehidupan dan rasa ingin tahu.
Aku membujuknya. Satu upaya terakhir untuk dan aku berhasil tersenyum lemah dari ayahnya.
Dia akan berbeda saat kamu melihatnya kelak.
Aku tahu.
Aku merasakan tiket pesawat di sakuku, menempel pada bekas luka yang menggores hatiku.
Dia akan tahu siapa kamu, dengan satu atau lain cara.
Perutku mual. Pemikiran tentang wanita yang akan membentuk sebuah narasi yang bukan miliknya untuk diceritakan. Agar anak kecil ini dipenuhi dengan kegelapan yang bukan miliknya.
Kamu akan melakukan hal yang benar.
Aku melihat kerutan yang coba disembunyikan adikku. Aku bertanya-tanya tentang rahasia yang dia simpan, cerita yang tidak lagi dia ceritakan padaku, dan kehidupannya di balik pintu tertutup. Tapi aku tidak bisa tahu dan tidak akan pernah tahu. Kehidupan baru, kota baru menanti. Yang dipenuhi dengan janji, dengan harapan, dengan pelarian dari perang yang akan kuakhiri.