Aku membedah wajah yang balas menatapku dengan mata mengantuk di cermin. Kantong di bawah mata kini lebih menonjol---ukuran tebal dan gelap. Saat ini, insomnia lebih menjadi teman daripada musuh. Lebih disambut daripada dibenci.
Aku mengusap rambut yang acak-acakan dengan tangannya yang gemetar, jari-jari tersangkut pada simpul-simpul kecil. Dan meskipun tidak bermaksud demikian, aku tetap memperhatikannya. Memperhatikan semuanya.
Mulutku yang serong ke samping. Hidung panjang dan sedikit bengkok. Tahi lalat itu berada di bawah mata kiri mencium tulang pipi. Mata cokelat dan rambut hitam yang melengkung keriting di ujungnya. Ciri-ciri yang kuketahui dengan sangat baik. Ciri-ciri yang telah kulihat berkali-kali sebelumnya, bukan pada diriku sendiri, melainkan pada orang lain. Ciri-ciri ibuku.
Aku tampak seperti dia. Setiap bagian terakhir dari diriku. Setiap bagian terakhir tang dibencinya.
Itu salahnya.
Mencengkeram wastafel dengan satu tangan dan tangan lain mencari-cari lemari obat, aku mengeluarkan sebotol pil, menenangkan napas yang gemuruh saat membaca labelnya. Fuloxentine.
Aku ragu-ragu, pikiranku masih tertuju pada kata itu dan memikirkan kapsul kecil berwarna hijau dan kuning itu. Aku takut. Dokter memastikan pil-pil itu akan memperbaiki keadaan. Menjadi lebih mudah. Namun malah ternyata semakin mempersulit situasiku.
Aku tak bisa tidur. Tak bisa fokus. Dan meskipun tidak sakit, tapi pikiranku tetap merasakannya. Dan itu lebih menyakitkan daripada hidup tanpa resep.
Itu adalah penjara.
Terjebak dalam kepalaku sendiri, pikiranku sendiri, tanpa ada cara untuk bebas.
Dan itu salahnya.
Aku mencengkeram botol obat semakin erat. Semua sesi terapi dihabiskan dengan menatap dinding, kosong, dan berharap semuanya berakhir. Semua obat berbeda yang telah kucoba. Pengobatan yang menurut ayah akan lebih baik daripada "obat alternatif". Malam-malam tanpa tidur. Sampai larut malam dan menangis dalam hati di tempat tidur. Menangis untuk kebahagiaan. Untuk cinta. Untuk ibuku. Hilang dan hampa, di dalam.
Sendiri.
Dan itu salahnya.
Simtomku. Ketakutanku. Patah hatiku.
Semua itu.
Tapi ini, kataku pada dirinya sendiri, ini bukan karena dia.
Aku berjuang untuk membuka tutup botol, menatap yang tersisa untuk minggu ini. Tanpa ragu, aku berbalik dan membuangnya ke toilet. Dengan wajah panas, aku menyaksikan air mengalir deras, menenggelamkan pil-pil kecil itu dan mengusirnya.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku tersenyum. Senyum yang tulus.
Sangat mudah untuk berdiri di sana dan menyaksikan butir-butir hijau kuning hanyut. Membiarkannya hilang di pipa-pipa dingin, ditelan saluran pembuangan.
Mudah untuk move on dan menjauh seolah tidak pernah ada. Sepertinya aku tidak pernah membutuhkannya. Tidak pernah.
Mudah, untuk meninggalkannya.
Dan aku tahu, itu juga salahnya.
Cikarang, 12 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H