Dan itu salahnya.
Aku mencengkeram botol obat semakin erat. Semua sesi terapi dihabiskan dengan menatap dinding, kosong, dan berharap semuanya berakhir. Semua obat berbeda yang telah kucoba. Pengobatan yang menurut ayah akan lebih baik daripada "obat alternatif". Malam-malam tanpa tidur. Sampai larut malam dan menangis dalam hati di tempat tidur. Menangis untuk kebahagiaan. Untuk cinta. Untuk ibuku. Hilang dan hampa, di dalam.
Sendiri.
Dan itu salahnya.
Simtomku. Ketakutanku. Patah hatiku.
Semua itu.
Tapi ini, kataku pada dirinya sendiri, ini bukan karena dia.
Aku berjuang untuk membuka tutup botol, menatap yang tersisa untuk minggu ini. Tanpa ragu, aku berbalik dan membuangnya ke toilet. Dengan wajah panas, aku menyaksikan air mengalir deras, menenggelamkan pil-pil kecil itu dan mengusirnya.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku tersenyum. Senyum yang tulus.
Sangat mudah untuk berdiri di sana dan menyaksikan butir-butir hijau kuning hanyut. Membiarkannya hilang di pipa-pipa dingin, ditelan saluran pembuangan.
Mudah untuk move on dan menjauh seolah tidak pernah ada. Sepertinya aku tidak pernah membutuhkannya. Tidak pernah.