Prana melepaskan tangan Citra dari lehernya, lalu membalikkan telapak tangannya yang kapalan ke atas.
"Setiap kali aku lewat di depan rumahmu, aku lihat kamu sedang bekerja di halaman atau membuang barang ke tempat sampah. Aku bertanya-tanya rahasia apa yang kamu sembunyikan."
"Sepertinya aku harus meninggalkanmu."
Citra mencoba melepaskan tangannya, tapi Prana mencengkeramnya erat-erat.
"Dengar, aku mungkin punya... masa lalu yang penuh warna, tapi aku selalu jujur. Kamu dapat mempercayaiku." Dia menekan tangan Citra ke jantungnya. Mereka bergoyang mengikuti irama lagu.
"Temanku relawan yang membangun organisasi untuk para penyintas kekerasan dalam rumah tangga. Dia mencari lahan untuk membangun tempat penampungan para korban, memulai awal yang baru, dan mempelajari keahlian. Blambang Residence bisa menjadi semacam tempat perlindungan." Citra melihat sekeliling. "Tapi seperti yang bisa kamu bayangkan, privasi dan kebijaksanaan penting demi kepentingan perempuan. Bagaimana aku bisa melawan pemerintah kalau aku tidak bisa memberi tahu mereka apa rencanaku untuk properti itu?"
Warisan peninggalan orang tua Citra membuatnya kembali ke kota asal setelah lima tahun melanglang buana.
Jidat Prana berkerut. Matanya menjelajahi wajah Citra, seolah-olah pori-prinya yang halus tak tertutup riasan tebal mungkin berisi jawaban atas pertanyaannya. Tetap saja, pasangan itu terus berdansa. Setelah bagian refrain, bibirnya terbuka. "Saat pertama kali merencanakan perluasan jalan raya, mereka mengusulkan dua rute. Aku akan membujuk pemilik usaha di jalur 5 untuk mengajukan petisi agar jalan tol tersebut melewati koridor mereka."
Dia meremas tangan Citra. "Aku akan membantumu. Kita akan menjadi tim yang solid."
"Aku tidak butuh bantuanmu. Mengapa bukan aku yang bicara langsung dengan pemilik usaha?"
"Karena mereka tidak menyukaimu."