Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kacang Hijau dalam Daftar Belanja

24 Januari 2024   21:44 Diperbarui: 24 Januari 2024   21:59 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menemukannya di belakang microwave, di antara tumpukan amplop yang menguning. Benda itu menempel di dasar tumpukan dan aku akan melewatkannya ketika aku memungutnya seandainya benda itu tidak melompat bebas pada detik terakhir, berputar dengan liar hingga mendarat di kakiku yang berkasut. Kertas persegi panjang kecil berwarna kuning pupus, dikerutkan di kedua arah di tengahnya seolah-olah kertas itu pernah dipotong menjadi empat bagian dan dimasukkan ke dalam saku.

Aku tidak yakin berapa lama aku berdiri di dapur sambil memegangnya. Yang terdengar hanyalah gemerisik suara tirai yang bergerak di jendela dan suaraku yang basah dan gemetar sebelum Bibi Jannah menemukanku dan mengarahkanku ke sofa.

Saat itu bulan April.

Ayah meninggal pada bulan Januari.

Sebenarnya, aku belum merasakannya--tidak meraskan apapun---sepanjang musim hujan itu. Tidak sampai saat itu. Saat pertama kali aku menerima telepon dari Ibu, aku ingat kata-katanya terkesan banal dan jauh. Seolah-olah aku membacanya lagi, kalimat abu-abu di kertas koran.

Lima puluh sembilan. Pria. Mati. Serangan jantung di rumahnya. Sendiri.

"Maaf," kataku ketika Ibu selesai berbicara.

"Saya minta maaf." Aku mengatakannya lagi di pemakaman. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan.

Aku tidak mengenal ayahku.

Ketika dia meninggal, aku tidak bertemu dengannya selama lima belas tahun, dan tidak berbicara dengannya selama tujuh tahun.

Aku tidak menyembunyikan keinginan rahasia untuk mengubahnya. Ayah punya kehidupan sendiri, dan aku punya hidupku. Kami bukanlah orang-orang yang sentimental.

Aku kira itu sebabnya secarik kertas yang jatuh itu mengejutkanku. Saat aku tegak setelah memungutnya, aku seperti bisa melihat sinar matahari menerawang menembusnya seperti jendela.

Itu mungkin tulisan tangan Ayah, rasa keakraban yang tak kuduga. Goresan pensil tipis dengan tulisan miring, begitu rentan sehingga aku hampir memalingkan muka. Sembilan kata. Hanya itu.

Daftar belanjaan.

Daftar belanjaan untuk lelaki yang tidak kukenal.

Konyolnya, aku bisa mendengar samar-samar bunyi tetesan air mataku di lantai linoleum yang memercik.

bawang merah

sarden

oralit

sabun cuci piring

kacang hijau?

 

Cikarang, 24 Januari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun