Aku menemukannya di belakang microwave, di antara tumpukan amplop yang menguning. Benda itu menempel di dasar tumpukan dan aku akan melewatkannya ketika aku memungutnya seandainya benda itu tidak melompat bebas pada detik terakhir, berputar dengan liar hingga mendarat di kakiku yang berkasut. Kertas persegi panjang kecil berwarna kuning pupus, dikerutkan di kedua arah di tengahnya seolah-olah kertas itu pernah dipotong menjadi empat bagian dan dimasukkan ke dalam saku.
Aku tidak yakin berapa lama aku berdiri di dapur sambil memegangnya. Yang terdengar hanyalah gemerisik suara tirai yang bergerak di jendela dan suaraku yang basah dan gemetar sebelum Bibi Jannah menemukanku dan mengarahkanku ke sofa.
Saat itu bulan April.
Ayah meninggal pada bulan Januari.
Sebenarnya, aku belum merasakannya--tidak meraskan apapun---sepanjang musim hujan itu. Tidak sampai saat itu. Saat pertama kali aku menerima telepon dari Ibu, aku ingat kata-katanya terkesan banal dan jauh. Seolah-olah aku membacanya lagi, kalimat abu-abu di kertas koran.
Lima puluh sembilan. Pria. Mati. Serangan jantung di rumahnya. Sendiri.
"Maaf," kataku ketika Ibu selesai berbicara.
"Saya minta maaf." Aku mengatakannya lagi di pemakaman. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan.
Aku tidak mengenal ayahku.
Ketika dia meninggal, aku tidak bertemu dengannya selama lima belas tahun, dan tidak berbicara dengannya selama tujuh tahun.
Aku tidak menyembunyikan keinginan rahasia untuk mengubahnya. Ayah punya kehidupan sendiri, dan aku punya hidupku. Kami bukanlah orang-orang yang sentimental.
Aku kira itu sebabnya secarik kertas yang jatuh itu mengejutkanku. Saat aku tegak setelah memungutnya, aku seperti bisa melihat sinar matahari menerawang menembusnya seperti jendela.
Itu mungkin tulisan tangan Ayah, rasa keakraban yang tak kuduga. Goresan pensil tipis dengan tulisan miring, begitu rentan sehingga aku hampir memalingkan muka. Sembilan kata. Hanya itu.
Daftar belanjaan.
Daftar belanjaan untuk lelaki yang tidak kukenal.
Konyolnya, aku bisa mendengar samar-samar bunyi tetesan air mataku di lantai linoleum yang memercik.
bawang merah
sarden
oralit
sabun cuci piring
kacang hijau?
Â
Cikarang, 24 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H