April, 2021
"Tidak akan mendekati kita. Terlalu jauh ke utara," anak-anak Seroja menelepon dia untuk memberitahu. Menyetir melalui hujan dan angin, wine masih membasahi bibirnya, dia tersenyum melihat jalanan yang dipenuhi ranting-ranting patah, tutup tong sampah, kotak makanan, botol minuman, kulit jeruk.
Pikirannya seperti badai angin dan air: rekan kerja yang kepo, mantan suami, anak-anak yang sudah dewasa dan selalu khawatir karena dia minum terlalu banyak tetapi terlalu sibuk untuk datang menengok mamanya.
Saat dia muncul di Pacific Place, tidak ada seorang pun rekan kerja yang menemuinya. Dia tidak mengenali mobil-mobil di tempat parkir, dan ketika dia bertanya di meja depan tentang pesta karyawan, mereka tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Namun dia tetap melanjutkan ke bar, memesan segelas anggur, menonton liputan badai di sudut TV: sungai meluap, listrik padam, rumah rata dengan bumi, jalan merekah.
Dia menghabiskan minumannya, memesan lagi, berbalik, menabrak kursi, tersandung kaki seseorang, menyapukan lengan bajunya ke sepiring onion ring crispy, berjalan menyusuri selasar menuju Ruang Serba Guna, meninggalkan puing-puing di belakangnya.
Seroja berhenti di luar pintu untuk mendengarkan: suara-suara, tawa, pastinya semacam pesta. Dia masuk dengan segelas Casirello del Diablo, bersendawa bawang bombay, perutnya meloyo.
"Hei, apakah akhirnya dia...?" seseorang bertanya sambil mendongak, berharap Seroja adalah orang yang mereka tunggu-tunggu.
Berjalan terhuyung-huyung  dengan blus sutra, anting-anting perak, kalung jimat, puing-puing angin topan tersangkut di rambutnya, mereguk isi gelasnya sampai tandas, berseri-seri di menatap isi ruangan dengan wajah-wajah asing. Tenggorokannya bagai terbakar, matanya yang bersinar terangkat saat dia mengumumkan, "Ini aku semuanya, Seroja!"
Cikarang, 18 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H