Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dalam Senang Maupun Tidak Senang

14 Januari 2024   10:10 Diperbarui: 14 Januari 2024   10:24 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

I.

Kita menatap alam semesta dan percaya bahwa alam semesta sedang melihat ke belakang, saat bola lampu besar yang berkumpul terangkat dan meledak. Pancaran cahaya untuk dilihat dan dilihat yang merupakan elemen penting dari bentuk kehidupan kita.

Tidak ada lagi budak yang mengangkat diri mereka ke atas menara dan memperhatikan tanda-tanda. Tidak ada ibu-ibu berpakaian bagus yang menumbuk padi dan wajan di jalan desa dan menggedor pintu lemari besi untuk mendapatkan uang kembali karena tidak ada yang dimakan.

Siapa pun yang tidak memproses nitrogren sudah mati. Kita mengalami defisiensi dan anemia seperti tunas yang tumbuh seperti yang diajarkan di kelas sekolah tata bahasa yang jauh. Yang mana yang tumbuh lurus di bawah lampu yang mana yang mengejar matahari.

Pusing tipis-tipis terhuyung-huyung di level kami. Lingkaran di sekeliling mata kita untuk memperjelas kulit kita yang bersisik metalik. Menyibak poni kita.

Rok reflektif licin berritsleting. Menunggu semesta kembali terkoneksi.

II.

Mengapa kita pergi ke hutan? Benar. Untuk membangun kubah observasi bintang. Meskipun ada catatan sastra yang menentang. Seperti punggung binatang bungkuk atau sepasang tangan pengkor, menebar pasir taman bermain di saat-saat yang jauh dari kebosanan ... ingat? kolam pekat tempat kita berendam berbentuk katak dan bunga? kemudahan yang kita gunakan untuk melahap makanan kita. Kata sifat pertama! Kita mengetahuinya dengan sangat baik sehingga bisa membuangnya ke dalam plastik sampah. meledak jutaan kali.

Seperti ruang hampa tanpa pegangan dengan seratus mata yang melotot mendesis keluar dan berputar. Lalu kita menghancurkan manekin dengan palu dan membagi matanya. Kita membuat semprotan merica luar biasa dari tabung pena dan kipas bulu merak. Berdiri tegak di belakang observatorium dan pada malam hari akan membuka dan menutup melintasi langit berhiaskan manik-manik, memperlihatkan ... bukan, menampakkan. Seolah langit adalah remaja gatal yang mengedipkan mata.

Kita seharusnya membukanya pada siang hari. Jika AC menyala di puncak kubah trenggiling, kita tidak menyadarinya. Di dalam amplop kecil kode merah. Di bulu terbang yang membusuk di sarang peri gunung. Dalam kitab tentang 'beelzebub' yang kita tak menyadarinya. Kita tidur nyenyak di ranjang kaleng yang sudah disikat, organ-organ tubuh menempel di meja periksa. Kita sebenarnya tidak punya mimpi.

III.

Dan malam hari menyelinap keluar dari batas yang ditoreh untuk menyaksikan kipas angin naik dan turun. Paha kita digerogoti tupai merah yang lari menuruni gunung dan lembah. Kemudian kotorannya tertinggal.

IV.

Hiruk pikuk unit sepeda motor. Darah dari kejauhan, seperti berada di dalam kepalamu sendiri. Jangan pernah menghindarinya.

V.

Dia membuat lubang cacing.

VI.

Langit merah muda bagai gincu pelacur, petinju yang KO, pelantun api, penari lelah, siswi, guru, astronot, pengantin wanita, jagal ayam, perempuan dingin, gadis dengan ular, polwan, bos perempuan, asisten rumah tangga, pekerja harian, dokter, ibu yang putus asa tak punya uang untuk membayar menyewa, masinis kereta, tentara, penunggang kerbau, anak kucing manja, sekretaris, gadis yang membuat roti, gadis itu yang memakai bikini, gadis berkuncir, gadis menulis surat, gadis di tengah hujan, gadis yang menjatuhkan botol sirup, gadis petani, gadis pemarah, buruh pabrik, penata rambut, pengunjuk rasa militan, bayi, artis...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun