Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 120: Cemara

19 November 2023   09:14 Diperbarui: 13 Januari 2024   10:07 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Tidakkah kamu tahu? Bagaimana jika aku mengetuk tiga kali?

Tok tok tok.

Di sini kita berdua berada, dalam lukisan di tepi laut. Matahari itu seperti anak kecil yang mengikuti kita ke mana pun kita pergi. Aku tahu aku pantas berada di sini.

Maukah kamu rindukanku saat aku pergi?

Mungkin hanya kamu satu-satunya.

Jalanan kosong dan aku berjalan di tengah hujan. Andai hatiku punya sayap, aku akan terbang ke dahanmu, sebentar saja, dan memata-matai burung camar.

Hal-hal yang mengingatkan saya pada kincir angin di toko roti.

Aku punya teman yang bertampang masam, tapi kamu cantik, dan aku tidak malu mengatakannya kepadamu. Aku tidak tahu cara malu.

Kita akan bersama, lama. Aku seperti sungai, tapi dengan laut biru begitu dekat, meski sepertinya aku tidak bisa melakukan lompatan dari sini ke sana.

Apakah aku terkejut? Kamu juga? Kita semua berharap untuk mencapai momen kecil seperti ini sebelum peristiwa besar datang kepada kita. Aku senang mempunyai sahabat kamu. Aku tidak ingin menutup mata. Aku ingin melihat semuanya.

Aku jatuh cinta. Mereka bilang cinta membawa kita pada kesadaran seutuhnya, tapi mereka lupa menyebutkan kesedihan yang datang. Itu yang ingin kutanyakan, kamu tahu, kan? Itukah sebabnya kamu ada di sini.

Dulu aku adalah kekasihnya. Aku. Selalu ingat dia, tapi sepertinya aku tidak bisa mengingat siapa aku. Jadi mengapa aku harus melakukannya?

Aku ngin tumitku menendang bumi dan terbang mengorbit bulan, dan kembali. Kamu bisa lihat ke mana arahnya.

Aku tidak bisa melihat kematianmu, Cemara. Aku tidak bisa membayangkannya.

Aku kira semuanya akan berakhir pada waktunya. Aku tidak termasuk yang beruntung mendapat kesempatan untuk akhirnya mengeluarkan kata-kata.

Aku perlu tidur.

Saya tidak ingin bergaul, oke? Mari kita lanjutkan perjalanan kita di tebing ini bareng-bareng.

Aku tentu saja setidaknya ingin kamu ada di sana. Kamu mengakuinya.

Warna langit yang hampir biru tak terlukiskan, laut tak mampu mengimbanginya.

Aku dan kamu seperti dua awan mungil. Bebatuan di bawah adalah rumah yang menempati setiap lahan yang tersedia. Ombak bolak-balik mencium bibir pantai.

 

Cikarang, 19 November 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun