Satu uang logam bergemerincing masuk ke dalam slot. Aku menelusuri pilihan lagu dari jukebox lama, dan memilih 624. 'Purple Rain' milik Prince berpindah posisi. Lengan nada meluncur ke seberang dan terdengar bunyi berderak saat jarum menusuk alur  piringan vinil. Akord gitar melankolis terdengar dari pengeras suara hingga ke dalam pub yang sunyi. Irama kental yang akrab dan vokal yang menghantui dimulai, menggugah isi perutku.
The Hell's Angel, pub yang sering aku dan Annabele kunjungi pada awal tahun sembilan puluhan. Namun malam ini, salju tebal membuatnya kosong. Ini adalah tempat yang sepi untuk menghabiskan ulang tahunku yang ketiga puluh. Aku kembali ke tempat dudukku, membuka kancing atas kemejaku, melepas syal dan meletakkannya di atas meja. Umurku kembali dua puluh.
Tempatnya tidak berubah. Dekorasinya masih sama: balok kayu tembesi, jendela hias timah, dinding hitam dengan poster Gun 'N Roses yang robek, bau bir dan tembakau apek. Aku melirik ke pintu dan membayangkan Annabelle masuk. Sudah delapan tahun sejak aku melihatnya.
Di tengah refrain 'Purrple Rain', aku mengeluarkan potret dari dalam dompet. Ada garis lipatan putih di tengah gambar, tapi hanya itu yang aku punya. Ini dari asrama putri di Yogya. Matanya liar dan gelap balas menatap. Kulit mulus halus tak bercacat dengan pipi merah muda alami. Rambut hitamj panjang tergerai di dada menonjolkan garis rahang di satu sisi. Aku meletakkan foto itu di atas meja.
Di luar jendela, butir air hujan mendera dengan arah yang terus berubah, sekilas jatuh dan buyar di kaca sebelum mataku bisa menangkap bentuk utuh air mata, dan aku tenggelam dalam kenangan tentangnya lagi.
***
Duduk di luar tenda, tak jauh dari sini, di bawah langit biru tak berawan, kami menikmati naungan cemara gunung tak berujung dan menghirup udara musim kemarau yang manis.
'Purple Rain' terdengar dari tape stereo yang kubawa. Annabelle menarikku berdiri dan kami berdansa, sangat dekat. Dia menatap mataku. "Saat kamu mendengar lagu ini, pikirkan aku."
Aku ingin mengajaknya menikah denganku, tapi aku takut dia menolakku. Sebaliknya, aku malah bertanya, "Apakah menurutmu kita akan tetap bersama ketika umur kita tiga puluh?"
"Mungkin," dia tersenyum, geli dengan pertanyaanku.