"Aku nggak minum. Nggak pernah tertarik."
"Oh," katanya, dan melihat ke kaca, malu. Dia meletakkan botolnya, tapi aku menghentikannya. Itu tidak berjalan sesuai keinginanku.
"Nggak, bukan begitu," jelasku. "Aku tidak keberatan jika orang minum. Tidak menghakimi sama sekali. Sebenarnya, aku suka melihat orang bahagia. Aku merasa senang melihatmu begitu menikmati sesuatu. Aku hanya tidak menyukai alkohol." Itu adalah kebenarannya. Itu belum semuanya.
Wajah Millah kembali cerah. "Kau hanya belum mencobanya," katanya, dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menawarkan gelasnya. "Rasanya hangat, manis, dan sangat lembut sehingga kau hampir tidak bisa merasakan alkoholnya."
"Keluargaku..." kataku, lalu terdiam.
Aku menghindari berbagi kebenaran dengan orang lain selama bertahun-tahun. Mengetahui hal itu mengubah cara orang memandangku, dan aku menyukai cara Milla itu memandangku.
Apa-apaan ini? pikirku, lelah menyensor diriku sendiri. Entah dia memercayaiku atau tidak. Entah dia menyukaiku apa adanya atau dia tidak akan menyukaiku.
"Orang tuaku pemabuk," kataku buru-buru. Setelah keluar, aku menrik napas panjang untuk menjelaskan. "Bagiku, belajar menyukai rasanya seperti melempar dadu. Aku takkan pernah membiarkan diriku mengambil risiko."
Aku tersenyum, tampak tenang, tetapi di dalam hatiku aku kehilangan kepercayaan diri, resah gelisah menunggu jawabannya.
"Jangan khawatir," kata Milla sambil duduk kembali, menyesap minumnya tanpa sadar. Ketika aku melihat bahwa Milla nyaman sudah minum sendiri, aku menghela napas lega.
"Aku mengerti," katanya sambil menjilat bibir. "Aku hanya ingin berbagi denganmu. Ini benar-benar enak, benar-benar nikmat, dan kupikir jika kamu mencicipinya..." Suaranya melemah dan matanya melebar seolah sebuah ide baru saja terlintas di benaknya. Dia memandangku, mengamatiku, lalu ke gelasnya. Aku bisa melihat dia berpikir keras menyusun kalimat yang akan dia katakan.