Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keinginan

5 September 2023   21:41 Diperbarui: 5 September 2023   21:56 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

"Aku berharap turun salju," kata Maharani setelah berminggu-minggu langit suram.

"Tidak mungkin," kata Hapsoro.

"Coba bayangkan. Salju putih bersih di hari musim kemarau yang cerah!"

Hapsoro mengangkat bahu dan tetap membaca majalahnya.

Malamnya, suhu turun. Angin sedingin es bertiup dan salju mulai turun sepanjang hari. Lalu keesokan harinya, dan keesokan harinya juga. Jalanan tertutup salju tebal, kendaraan takbisa lewat.

Saat listrik padam, Maharani menganggapnya romantis. Dia menyalakan lilin dan meringkuk di depan Hapsoro. Tidak banyak makanan di lemari. Mereka menemukan es krim di dalam kulkas, tapi tanpa listrik mereka tidak bisa memanaskan pizza. Hapsoro menyekop salju dari jalan, berharap bisa berjalan ke toko mini market di simpang jalan, tetapi begitu dia selesai, lebih banyak lagi salju yang menumpuk.

Maharani menggerutu.

"Kamu ingin salju," kata Hapsoro.

"Aku berharap matahari terbit," kata Maharani setelah hari-hari suram yang dipenuhi warna putih tak berujung yang menjadi kerak kotor saat jalan dibersihkan dan lalu lintas kembali normal.

Segera matahari terbit dan salju mencair. Hari-hari semakin panjang. Maharani berjalan-jalan dan Hapsoro menggali taman.

Suhu meningkat. Rumput mengering, daun-daun berguguran dari pohon-pohon. Air dijatah dan tanaman dalam pot layu.

Matahari bersinar sepanjang waktu. Di kota, jalanan seperti tungku. Tidak ada tempat berteduh, tidak ada perlindungan dari terik, membuat kepala Maharani sakit.

Dia mandi keringat. Hapsoro mandi keringat. Malam hari, udara terlalu panas di kamar untuk tidur. Dia menjadi marah.

"Aku berharap akan turun hujan!" seru Maharani.

"Berhati-hatilah dengan keinginanmu," kata Hapsoro. "Kamu mulai membuatku takut."

Keesokan paginya langit gelap, seolah-olah ada yang lupa menyalakan lampu. Awan hitam tebal bergulung dalam semalam.

"Oh, bagus!" Maharani berlari keluar seperti anak kecil yang bersemangat ketika air hujan pertama turun.

Hujan jatuh lebih cepat, berubah menjadi arus deras. Sungai-sungai terisi dan meluap, tanah kering menjadi bubur lumpur. Waduk penuh membuat pemerintah khawatir bendungan akan jebol.

"Aku berharap..."

"Jangan!" Hapsoro berteriak.

Namun Maharani tidak dapat mendengarnya, karena sesuatu menabrak dinding rumah dengan suara gemuruh yang menakutkan. Air berlumpur menerobos dinding dan menghempaskan mereka ke jalan setapak, ke seberang jalan, membenturkan mereka ke deretan pohon yang entah bagaimana tetap bertahan tegak.

Air membawa mereka ke tempat di mana kehidupan mungkin lebih baik dan keinginan tidak terkabul.

Bandung, 5 September 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun