Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apel

3 Agustus 2023   20:27 Diperbarui: 3 Agustus 2023   21:41 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tahu kok, kalau apel itu beracun.

Gadis bodoh, bisik orang-orang saat aku berjalan melintasi pasar, mengangkat kepala, menolak bersembunyi di dalam puriku.

Begitu lugu, begitu percaya, begitu konyol untuk menerima apel itu dan menggigitnya.

Aku mengabaikan tatapan penuh belas kasihan mereka.

Mereka tidak tahu seperti apa rasanya.

Dia sangat cantik, dan dia tersenyum sangat ramah, dan aku pikir kami bisa bahagia. Sebagai satu keluarga bahagia, sekali lagi. Kemudian Ayah mangkat dan tinggallah kami berdua, dan senyumnya hilang.

Aku berusaha keras untuk mendapatkan senyum itu kembali. Menyapu lantai? Ya, Ibu. Membersihkan kandang? Tentu saja, Ibu. Apa pun yang Ibu inginkan. Lihatlah, aku bahkan bisa bernyanyi dengan baju compang-camping ini. Tersenyumlah padaku, Ibu.

"Kamu harus memanggilku dengan sebutan 'Yang Mulia,'" dia nerteriak dan berjalan pergi dengan jubah yang berputar-putar.

Aku jatuh merosot ke lantai batu dan menangis.

Ketika aku melarikan diri, aku berpikir, bahkan setelah itu, bahwa dia tidak bersungguh-sungguh. Dia tidak sungguh benar-benar membunuhku. Dia tidak benar-benar menginginkan jantungku. Bukankah aku keluarganya?

Tapi suara serak para pemburu membuatku takut, dan aku bersembunyi di hutan.

"Kamu tidak pantas untuknya," kata kurcaci itu, saat yang lain tidur setelah menyantap makan malam yang kubuat. Aku menatap pantulan diriku di air cucian. Keluarga bukanlah hal yang pantas kamu dapatkan.

Siapa itu yang mengetuk pintu?

Aku langsung mengenalinya, tentu saja, ketika membuka pintu depan rumah kurcaci. Dia tidak pernah sanggup menjadi jelek, dan bibir merahnya menyala di dari balik jubah perempuan tua itu.

Aku pikir ini adalah semacam permainan. Aku akan menangis. Aku mengenalimu, Bu. Dan dia akan tertawa, dan kami akan bersama-sama pulang ke istana. Tapi dia memang tersenyum, pelan dan berbisa, dan aku melihat kebenarannya.

Aku tahu apel itu diracuni. Tapi itu satu-satunya benda yang pernah dia berikan padaku. Aku menggigitnya.

Pangeranku baik. Dan dia memelukku saat aku menangis di malam hari.

Putri kami berusia lima tahun, sangat bahagia, sangat cantik. Kami berjalan melintasi pasar, dan dia mengambil sebuah apel dari gerobak.

AKu merampas apel itu. Mahkotaku nyaris jatuh dari kepalaku karena tergesa-gesa.

Aku membuang apel itu.

Putriku menangis. Aku mengabaikan protes penjual apel di belakangku, lalu membungkuk untuk menatap mata putriku, merapikan rambut hitamnya.

Aku tersenyum.

"Aku sangat mencintaimu," kataku padanya. "Dan aku berjanji, aku tidak akan pernah memberimu apel meski segigit."

Bandung, 3 Agustus 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun