Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 102: Iri

23 Juli 2023   10:10 Diperbarui: 23 Juli 2023   10:13 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim 

Juli tetanggaku berdiri di ambang pintu terbungkus gaun merah muda berlapis. Tapi dia tinggi dan membuatnya terlihat glamor. Memamerkan betis sedikit dan pinggang yang ramping menggigit.

Dia mencium suaminya Rey dan mengucapkan hati-hati di jalan. Rey mengenakan setelan biru. Dia terlihat keren dengan warna biru. Mantan suamiku tidak pernah terlihat keren dengan warna biru. Sungguh mengecewakan.

Saat Juli mengantar anak-anak ke sekolah, aku makan sereal dengan susu. Zaki dengan ransel dinosaurusnya dan berpegangan tangan dengan adiknya, Lili, saat mereka melompat ke dalam mobil. Aku berpikir aku akan memilih nama seperti itu -- Rosa atau Amelia -- nama yang terasa enak di lidah dan gigi. Juli terhuyung-huyung di belakang mereka dengan sepatu bertumit tinggi. Nina yang tinggal di seberang jalan mengatakan bahwa semua ibu membencinya karena mereka belum pernah melihatnya mengenakan sepatu kets dan dia selalu memakai lipstik.

Malam hari, cahaya dari jendela mereka menonjol dalam kegelapan. Rey pulang kerja, melempar tasnya ke kursi, mencium kening anak-anak. Aku mengamati saat mereka makan dan kepala terlempar ke belakang dengan tawa.

***

Kemarin, duduk di sofaku, Juli meneguk kopi. Dia hanya punya waktu dua puluh menit, semuanya berantakan tanpa dia. Dan berkata dia iri padaku.

Aku tertawa. Aku katakan padanya tidak perlu merasa iri.

"Sungguh. Pasti menyenangkan," katanya. "Bisa tidur, sendirian dengan tangan terentang ke kedua sisi, seperti bintang laut di dasar samudra."

Aku mengangkat bahu dan berkata semua biasa saja. Semua yang terjadi seperti apa adanya.

Saat dia pulang, dia memelukku sampai aku merasakan tulang rusukku berderit. "Pasti sangat menyenangkan," dia berbisik di telingaku.

"Ya," aku balas berbisik. "Pasti."

Cikarang, 23 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun