Anna menyaksikan cucu-cucunya kesayangannya bermain, dan dia bertanya-tanya bagaimana dia bisa ikut merasakan kegembiraan ini. Itu membawanya kembali ke hari itu, 60 detik pertama itu.
Saat hakim mengetuk palu, gemuruh suara pukulannya bergema di seluruh ruangan.
Pria paruh baya di sebelah Anna tampak ambruk ke bangku. Dia menatapnya, bingung. Siapa pria ini? Kenapa dia ada di sini, sekarang? Anna nyaris bisa mendengar jantung pria itu remuk di dalam tubuhnya, lalu pecah meledak. Dalam tiga puluh detik pertama ini, waktu melambat. Anna memperhatikannya dengan wajah membeku. Dia sudah lama mati rasa.
30 detik berikutnya dimulai.
Dia masih tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Dia menyaksikan dengan rasa ingin tahu saat air mata pria itu bercucuran ke lantai. Perlahan, pria itu mengangkat kepala dan menujukan pandangan ke arahnya. Upaya itu tampak menyakitkan. Ketika mata mereka akhirnya terkunci, Anna kehilangan napas karena kenangan membanjirinya.
Anna ingat. Dia sudah sangat lama membutuhkan pria ini. Ini adalah pria yang dia cintai, yang dia nikahi.
Napasnya terengah-engah. Kenangan itu mengalir bersama air mata. Tapi hatinya tidak patah. Hatinya telah retak perlahan-lahan selama dua puluh tahun. Retakan kecil-kecil yang terjadi hari demi hari.
Bandung, 2 Juli 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
