Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Zombie! Zombie! 4 - 5

29 Mei 2023   07:22 Diperbarui: 29 Mei 2023   07:37 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Dengan satu sentakan keras, Surya membuka pintu geser garasi. Bunyinya sekeras lokomotif bergerak meninggalkan peron, dan aku hanya berharap tidak sampai menarik perhatian. Begitu terbuka, aku berlari ke garasi dan tersandung beberapa sepeda yang jatuh ke belakang beberapa kursi anyaman putih. Aku menjaga keseimbangan tubuhku dengan bersandar pada panggangan berukuran raksasa.

"Kamu baik-baik saja, idiot?" Surya memutar bola matanya.

"Aku baik-baik saja. Salah melangkah, itu saja." Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan sarafku dan mendapatkan kembali keseimbanganku. Alat-alat digantung dengan rapi pada pengait di sepanjang papan pasak raksasa yang menempel di dinding di samping meja kerja besar. Kunci pas tergantung dalam urutan ukuran. Pemiliknya pasti sangat teratur, dan aku merasa hampir tidak enak, bahkan mempertimbangkan untuk mengacaukan pajangan kecilnya yang rapi dengan mengambil kunci pas, tetapi kemudian sesuatu yang lebih baik menarik perhatianku: palu godam, duduk tepat di atas meja, memohon untuk digunakan. Memang, itu bukan senjata yang paling mematikan, tapi kupikir itu lebih baik daripada obeng.

"Pilihan bagus," kata Surya, "tapi ingat, zombie dengan tulang selangka yang patah tetaplah zombie. Hancurkan tengkoraknya dan matikan otaknya."

"Ya aku tahu. Tusuk, hancurkan, tembus, hancurkan, atau tusuk aja tengkorak. Gampang."

Surya mengerutkan kening. "Jangan sombong! Dan jangan pernah meremehkan orang-orang aneh itu. Ngerti, nggak? Begitu kamu lengah... kamu mati."

"Sedikit percaya diri nggak akan merugikan siapa pun, Bro."

Dia memelototiku. "Bay!"

Aku tahu abangku ini tidak tertarik untuk melibatkanku dalam salah satu episode Manusia Vs. Zombie, jadi aku mencoba meyakinkannya. "Aku bisa melakukan ini, Nak. Yakinlah, aku pasti bisa."

"Kalau aku pikir kamu tidak bisa, adik kecil, aku akan meninggalkanmu di sana bersama Zahra dan Chinta yang sangat tidak siap untuk hidup di dunia yang sekarang kita hadapi."

"Hei, pistolmu ada isinya, kan?" aku bertanya untuk mengalihkan topik pembicaraan.

"Ya, tapi kita harus menghemat peluru. Aku hanya akan menggunakannya kalau merasa itu benar-benar perlu. Plus, kami tidak ingin menarik zombie dengan bunyi tembakan yang berisik. Kita dapat menangani tanpa harus menggunakan peluru. Jangan khawatir."

Kami meninggalkan garasi dan menyusuri jalan masuk yang panjang dan lurus. Aku berputar ke arah Surya. "Aku tidak melihat apa-apa."

Tepat ketika Surya membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, rahangku ternganga. Sesuatu menggeram di belakangku.

Sialan!

Aku menahan napas dan berbalik perlahan. Tanganku mencengkeram palu godam lebih erat sambil mempersiapkan diri secara mental untuk hal-hal yang tak mungkin dihindari.

"Jangan mencoba menjadi pahlawan," gumam Surya.

Sayangnya, kata-katanya tidak cukup masuk ke dalam otakku saat aku mengangkat pandanganku ke makhluk cacat di hadapanku. Mulut yang menganga penuh dengan gigi hitam, rusak, busuk. Gusi yang mengeluarkan cairan lendir membuatku ingin mundur selangkah. Tetapi aku harus membuktikan diriku---pada Surya dan juga pada egoku sendiri. Aku berdiri tegak dan menelan empedu agar kembali ke perutku. Vena biru jelek menonjol dari kepala botak yang mengilap. Tenpat lengan yang dulunya kuat dan sehat kini hanya tersisa lubang dan sisa daging yang dimakan belatung. Tapi yang paling membuatku ngeri adalah matanya: mata manusia, tapi mati.

Aku menelan ludah dan menggelengkan kepala sedikit. Pada saat itu, menghadapi zombie, aku menyadari bahwa kepercayaan naif yang kumiliki sebelumnya tidaklah cukup. Tidak mungkin aku siap untuk konfrontasi sebenarnya dengan mayat hidup. Mungkin awalnya aku sangat senang mendapat kesempatan untuk menendang pantat zombie, tetapi melihatnya secara langsung adalah cerita yang sama sekali berbeda. Sejenak, aku diingatkan kembali tentang kejadian wahana Bianglala lagi. Kejadian malam pertama orang menjadi sakit dan berubah menjadi zombie. Aku membeku di tempatku berdiri, tapi tak lama.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun