Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Badai Takdir (Dua Puluh Satu)

19 Mei 2023   07:31 Diperbarui: 19 Mei 2023   08:52 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya....

"Aku ingin melihat buku-bukumu tentang penyihir," kata Angrokh.

Kendida terkekeh pelan. "Mengapa kamu tidak tanya saja padaku apa yang sedang dilakukan Thozai di sini? Kamu harus mencoba teori tentang itu waktu kamu bisa bertanya dan aku akan mengatakan yang sebenarnya. Kamu takut akan kebenaran, itu sebabnya kamu tidak berani bertanya."

"Aku bertanya dan kamu memberi tahuku.""

"Tidak, kamu tidak bertanya. Kalau ingatanku benar, kamu bilang dan aku mengutip, "Benarkah itu, Kendida?" Itu bukan pertanyaan yang harus kujawab. Tidak ada referensi nama, tidak ada apa-apa. Kamu takut dengan jawaban yang mungkin kuberikan kalau kamu mengajukan pertanyaan yang tepat," Kendida menatapnya tajam.

"Kamu ingin aku mengajukan pertanyaan?" Angrokh bertanya setelah diam beberapa saat.

Kendida tidak menjawab.

"Kamu boleh berbohong kepadaku kalau itu maumu."

"Aku tidak pernah berbohong padamu!" bantah Kendoda. Tatapan mata mereka saling mengunci satu sama lain.

"Kalau begitu jawab aku, mengapa Thozai Svardan ada di sini?" tanya Angrokh.

Kendida bersandar di kursinya dengan santai. "Dia ada di sini karena dua alasan yang kurang lebih saling berhubungan."

"Apakah aku perlu bertanya lagi? Kamu belum menjawab pertanyaanku."

"Tidak, aku memang belum menjawab pertanyaanmu."

Kendida menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Aku sekarat, Angrokh."

"Itulah sebabnya mengapa kamu melatih Kinan untuk menggantikanmu. Aku tahu itu."

"Tidak, kamu tidak mengerti. Aku tidak berbicara secara kiasan. Yang aku maksud bahwa garisku sedang sekarat. Yang aku maksud bukan karena aku harus mundur."

Kendida berhenti dan melihat ekspresi bertanya di wajah Angrokh. Kendida membuatnya menunggu beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Aku sekarat secara fisik dan segera akan bertemu dengan roh nenek moyang."

Angrokh kehilangan kata-kata. Ia menatap Kendida yang sepertinya sudah menerima takdirnya. Sekarang dia melihatnya. Dia bisa melihat Kendida yang sebenarnya. Tidak ada Kendida lama dan Kendida baru. Hanya ada satu yang masih memerintah dan yang lain mengatur urusannya. Dia ingin bertanya tetapi dia tidak tahu caranya. Sebaliknya, Angrokh berkata, "Kamu berbohong bahwa Thozai hanya memuaskan keinginanmu akan kekuasaan."

"Tidak, itu benar. Setelah menerima sqari kehidupan untuk waktu yang lama, kamu akhirnya mulai mendambakannya lebih dan lebih setiap kali mendapatkannya."

"Sudah berapa lama kamu menerimanya?" Angrokh bertanya dengan rasa ingin tahu.

"Hampir dua dasawarsa."

"Dua..." rahang Angrokh menganga. Kendida tidak mengatakan apa-apa.

Sekali lagi setelah jeda yang lama, Angrokh berkata, "Thozai baru berada di sini paling lama lima tahun.""

Lagi-lagi Kendida tidak menjawab. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Thozai muncul sekitar lima tahun yang lalu.

"Bagaimana kamu mendapatkannya sebelum dia tiba di sini?" tanya Angrokh.

"Pertemuan singkat dengan yang lain."

"Kamu tahu tentang keberadaan musuh utama kita tapi kamu menyimpannya untuk diri sendiri?"

"Aku tidak akan melakukannya jika hidupku tidak bergantung padanya," jawab Kendida sambil berdiri. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan?"

Angrokh menyusulnya bangkit dan mereka keluar.

Kendida melambaikan tangan kepada para penjaga dan mereka beruda keluar dari kastil. Keduanya berjalan bergandengan tangan tanpa ada seorang pun yang tampak.

Mustahil ada mata-mata menguping pembicaraan di tempat terbuka, pikir Angrokh.

Kendida menoleh padanya. "Ada hal lain yang ingin kamu tanyakan?"

"Ya. Kamu bilang Thozai ada di sini karena dua alasan." Diam sejenak. "Apa alasan kedua?"

"Aku akan menjawabnya nanti. Ada yang lain lagi?"

Keduanya menuju ke sektor pelatihan.

Angrokh termenung sebelum bertanya, "Kenapa sekarang? Mengapa baru sekarang kamu menceritakan semua ini padaku?"

"Karena aku sekarat." Kendida tertawa lalu melanjutkan, "Aku seorang wanita sekarat yang mengelola urusannya secara sistematis. Masuk akal kalau aku bicara dengan orang yang akan memastikan bahwa keinginanku terkabul."

"Keinginan seperti apa?" tanya Angrokh.

"Seperti mendapatkan ciuman terakhir dari seseorang yang mencintaiku." Dia tidak menatapnya.

"Junot..."

"Junot tidak mencintaiku. Dia menikahiku demi tahta dan warisan. Hanya itu yang diinginkannya."

"Thozai..."

"Thozai sama sekali tidak tertarik padaku."

"Lalu siapa?" Angrokh bertanya.

Kendida berhenti dan menoleh ke arahnya. Dia juga berhenti dan balik menatap.

"Kamu tahu? Kadang-kadang aku bingung apakah kamu berpura-pura bodoh atau benar-benar tidak mengerti."

Angrokh tampak bingung.

"Aku ingin kamu menciumku."

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun