"Kalau begitu, aku akan tinggal bersamamu, Mama," katanya, dan aku tahu dia dia serius.
Ini bukan kejutan. Tidak apa-apa.
Aku mengangguk, lesu seperti musim kemarau yang membentang di depan kami, dan tanganku terjulur meraih untuk mengisi ulang gelasku. Dia melihat aku menuang, melihat tanganku gemetar dan menumpahkan kopi. Manik-manik hitam kecokelatan meresap perlahan ke dalam linen putih tebal membentuk semacam pola abstrak mencolok. Ini, dengan sendirinya, harus memberitahu dia bagaimana perasaanku. Kata-kata seharusnya tidak diperlukan.
Teko itu berbunyi saat aku meletakkannya. Aku berdehem, berpura-pura mendorong jepit rambut yang tergelincir kembali ke tempatnya.
"Terima kasih," kataku.
Kemudian di minggu itu, aku membantunya berkemas. Apa lagi yang akan aku lakukan? Kardus-kardus berserakan di lantai ruang tamu, dan larut malam aku duduk bersila di antara mereka, lampu sudut redup satu-satunya yang jadi penerang.
Di atas meja kopi tergeletak surat penawaran. Aku meregang untuk meraihnya dan memegangnya dengan hati-hati di pangkuanku, berpikir bahwa aku harus berusaha untuk tidak membuatnya kusut. Aku melihat lingkaran hitam rapi dari tanda tangannya, lebih ke huruf cetak daripada kursif, dan aku teringat bilang padanya bahwa aku akan pergi ke perpustakaan bersamanya besok untuk memindainya. Jika tanda pengenal menjadi suatu keharusan, aku punya prinsip untuk mengetahui bahwa aku mungkin tidak akan menindaklanjutinya.
***
Kurasa mungkin aku telah menghancurkan hatinya, betapapun lembutnya aku memupuskan harapannya, betapapun mudahnya untuk melepaskannya seakan benang lepas dari jahitan yang tak pas. Air mata yang bening lembut.
Aku tidak ingin menjadi perempuan yang mencabut nyawanya demi cinta.