"Di mana Keiko?" Aku berseru sebelum menyadari apa yang kukatakan.
Nick menatapku dari bawah alis yang berkerut. "Keiko? Kepalamu pasti terbentur cukup keras. Helikopter kita jatuh karena malfungsi. Kamu nggak ingat, ya?"
Kata-katanya nyaris tak kudengar. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Keiko ada di dalam helikopter apalagi menariknya keluar dari benda sialan itu. Aku yang idiot tidak memberitahunya bahwa Keiko ada di dalamnya.
Mengabaikan pandangan Surya yang bertanya-tanya, aku melompat berdiri dan berlari menuju tumpukan logam yang terbakar. Meliuk melalui celah bergerigi dan naik ke dalam, mengabaikan sobekan logam seperti gigi hiu yang merobek kulit dan pakaianku, lalu terjun menembus api dan asap, mencari Keiko dengan putus asa. Tanganku menukik ke dalam, mengabaikan rasa sakit yang membakar lenganku karena menghantam dasbor saat melindungi diriku selama tabrakan.
"Bay! Kamu ngapain?" teriak Surya memanggilku. "Sudah kubilang radionya tidak berfungsi. Hangus, Bro! Sama seperti otakmu."
Mengabaikannya, aku terus mencari. Kantung botol hitam tergeletak terbalik di lantai. Aku lega benda itu terbuat plastik dan bukan kaca, jadi tidak pecah, dan masih ada harapan untuk Keiko. Batuk dan tersedak, aku terus terhuyung-huyung melewati reruntuhan.
"Aku tidak akan menjadi orang yang memberi tahu papa mama bahwa otak bodohmu yang membuatmu terbunuh!" Surya kembali berteriak. "Keluar sekarang!"
Asap datang dari mana-mana, dan derak api membuatku takut. Meskipun saya tidak bisa melihat apa-apa, naluriku menyuruh tanganku untuk mengorek puing-puing. Setengah jalan, aku merasa menyentuh sesuatu yang hangat.
Keiko!Â
Sial, dia tidak bergerak. Apakah dia masih bernapas?
"Keiko! Keiko!"