Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Badai Takdir (Dua Belas)

2 April 2023   17:38 Diperbarui: 2 April 2023   17:49 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Kuda-kuda dibawa ke istal dan keduanya berjalan ke kastil. Para penjaga memberi hormat kepada Thozai di setiap belokan dan memandang Sarritha dengan rasa ingin tahu. Akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan besar yang terang benderang. Tampaknya itu adalah ruang dansa untuk mengadakan pesta resmi, tetapi lantainya ditutupi dengan bahan lembut yang bisa dia rasakan di bawah kakinya.

Tiba-tiba mereka berhenti Thozai menoleh padanya, "Aku akan mengajarimu dasar-dasar bela diri, kuda-kuda, memblokir, menendang, memukul dan sebagainya. Terserah kamu untuk memanfaatkan keterampilan lainnya. Aku tidak akan mengajarimu taktik..."

"Kenapa tidak?" Sarritha menyela.

Ada kilat di mata Thozai. "Karena jika aku mengajarimu taktik, kamu akan bertarung dengan cara yang sama setiap saat. Jangan menyela. Kamu akan menggali buku-buku di perpustakaan dan membaca semua tentang taktik berperang. Aku juga akan membawakanmu beberapa buku dari perpustakaan ratu. Kamu akan ke lapangan dan mempraktikkannya jika dan aku ingin melihat tiga jurus dipraktikkan setiap hari dengan sempurna."

"Tiga jurus?" Sarritha bertanya tidak percaya.

"Kamu mau aku menambahkan lebih banyak?" tanyanya terdengar sangat kesal.

"Tidak, tiga cukup," jawab Sarritha dengan suara pelan.

Thozai mulai mengajarinya cara berdiri, menangkis, mengelak pukulan, dan beberapa hal kecil lainnya.

Lalu akhirnya dia bertanya, "Aturan nomor satu?"

"Bergerak cepat?" Saaritha balas bertanya karena tidak yakin pada dirinya sendiri.

"Harus yakin dengan jawabanmu," Thozai memarahi. "Aturan nomor dua?" dia lanjut bertanya.

"Tidak ada interupsi," jawab Sarritha, kali ini dengan percaya diri.

"Aturan nomor tiga?" tanya Thozai lagi.

"Guru, Anda tidak memberi tahu saya aturan nomor tiga."

Thozai menampar pipinya secepat kilat meski tak sapai menyakitkan.

"Siaga," katanya kemudian tamparan cepat lainnya di pipi satu lagi.

Seorang penjaga datang menonton.

Tamparan lain menyusul dan Sarritha terlalu lambat menangkisnya. Kemudian lagi dan lagi dan mulai menyengat karena pengulangan tamparan dan akhirnya dia berhasil memblokir satu dan kemudian setelah beberapa saat kemudian yang lain dan kepercayaan dirinya mulai tumbuh.

Thozai melakukan hal yang tidak terpikirkan dengan mencoba menendangnya tetapi dia berhasil memblokirnya. Sarritha telah melihat kaki gurunya terangkat dari tanah.

Dengan satu putaran cepat, Thozai melontarkan pukulan keras dan menendang yang jika Sarritha gagal memblokirnya maka dia akan terluka. Sarritha mencoba untuk mengelak tetapi dia terjatuh ke tanah beberapa kali. Akhirnya, Thozai berkata, "Aturan nomor empat, serang lebih dulu."

"Kenapa?" Sarritha yang tergeletak di tanah bertanya. Dia masih bingung memilih apakah akan bangun dan menerima lemparan lain ke tanah. Thozai maju bergerak tepat di sebelah kakinya.

"Untuk mendapatkan keuntungan. Untuk menempatkan lawan dalam posisi bertahan. Lawan akan sibuk berusaha . Kamulah yang membuat aturan."

Sarritha menghela napas lelah. Dia mengulurkan tangannya supaya Thozai dapat membantunya berdiri. Pria itu meraih tangannya dan hendak menariknya ke atas ketika Sarritha menendang kakinya ke belakang dan malah menariknya ke bawah.

Thozai hampir jatuh tepat menimpa Sarritha, tetapi dia berhasil mengendalikan dirinya, jatuh di samping Sarritha . Mereka saling menatap mata sejenak. Jantung gadis itu berdetak kencang. Ini bukan seperti yang diharapkannya.

"Bagaimana dengan jurus seperti itu?" Sarritha bertanya sambil menatapnya. Suaranya nyaris terdengar seperti bisikan. Mau tak mau dia membayangkan betapa dekatnya dia dan Thozai, belum lagi aroma tubuhnya.

"Bagus, tapi aku akan jatuh menimpamu. Bagaimana itu bisa disebut jurus?"

Sarritha berpikir selama beberapa detik, lalu menjawab, "Jika saya bisa bergeser sebelum Anda jatuh, saya yakin saya akan bangun sebelum Anda."

"Tapi kamu tidak bergerak, bukan?" tanya Thozai sambil berdiri. Sarritha buru-buru bangun sendiri tahu bahwa Thozai tidak akan membuat kesalahan yang sama dua kali.

Penjaga yang menonton juga sadar bahwa dia sudah seharusnya keluar dari ruangan.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun