Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Terdampar di Perut Bumi - Buku Satu: Terdampar (Part 35)

27 Maret 2023   16:52 Diperbarui: 27 Maret 2023   17:01 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya....

Miko berjalan mendekat dan mengambil beberapa potong kayu apung. "Gue setuju." Senyumnya yang berkilauan ditujukan ke Tiwi. "Lagian, gue nggak pernah bisa bilang 'no' kalau lu marah-marah yang bikin lu semakin cantik, Beib," katanya, lembut dan menawan seperti biasa.

Jantung Tiwi bagai berhenti berdetak. Apakah itu sebuah rayuan? Tidak. Miko sering ngomong begitu. Itu tidak berarti apa-apa... kan?

Tiwi tahu, menggoda adalah hal yang wajar bagi Miko seperti bernapas. Dia berkacak pinggang. "Gombal, nggak mempan buatku. Aku bukan salah satu penggemarmu yang termehek-mehek mendengar rayuanmu, Mik."

"Lu kebal sama ketampanan gue?" dia bertanya, menjatuhkan kayunya ke tumpukan.

Tiwi menusukkan jari ke dada Miko. "Benar."

Tapi kalau bisa Tiwi ingin menendang pantatnya sendiri karena berbohong. Kenapa dia tidak bisa mengungkapkan persaannya pada cowok itu? Apakah Miko hanya bercandaatau sebenarnya serius?

Miko mengedipkan mata dan menarik Tiwi mendekat. "Tapi gue yang nggak tahan."

Lengannya yang kuat terasa nyaman. Tiwi menatap matanya yang hijau berkilau itu. Napas Tiwi membeku saat melihat matahari bersinar menyala di pirangnya yang acak-acakan. Miko mengusapkan ibu jarinya ke pipinya dan tersenyum, dan Tiwi balas tersenyum. Dia sadar bahwa mereka sedang bermain api, dan dia bertanya-tanya apakah Miko akan membakarnya seperti dia membakar gadis-gadis lain. Dengan mata terpejam, Tiwi bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau saja Miko lebih dari seorang teman. 

Tapi mengapa memikirkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi? Miko banyak omong dan tidak pernah punya masalah menggoda gadis-gadis cantik, termasuk sahabat-sahabat Tiwi. Dia tidak pernah serius berpacaran dengan salah satu gadis, dan dia juga tidak bisa serius memiliki perasaan untuknya. Tidak ada harapan sama sekali.

"Jangan sembarangan nganggap Tiwi salah satu cewek penggemar lu, Mik," kata Zaki.

Ya, Miko punya koleksi gadis-gadis cantik yang mengerubunginya, meminta tanda tangan dan melayani setiap keinginannya, seolah-olah dia bintang film kondang.

"Sorry, gue minta maaf." Tatapan Miko beralih ke SOS yang dibuat Tiwi. Gadis itu tersenyum saat Mikobersiul. "Wah! Silau, men! Bayangan gue ngilang!" Dia mundur selangkah dan menutup matanya. "Persis videotron iklan pemadam kebakaran. Kalau ada pilot yang nggak ngelihat ini, kelewatan. Mana ada pilot buta."

Zaki menjatuhkan sepotong kayu apung lagi ke tumpukan yang . Dia membersihkan pasir dari tangannya. "Karya pemenang penghargaan akan menyelamatkan kita. Kita ngasih gelar Picasso ke lu bukan ngasal."

Tiwi tersenyum. "Terima kasih."

Otot-otot Zaki melentur di bawah kausnya saat kembali bekerja. Dia adalah seorang atlet bintang dan telah memimpin tim SMA mereka meraih kemenangan yang tak terhitung jumlahnya dalam cabang renang, sepak bola, dan bola basket.

Tapi Zaki tidak seperti Miko, yang memegang gelar yang tak terhitung jumlahnya di dunia olah raga selancar. Miko dan Zaki berbeda seperti siang dan malam, meskipun mereka juga memiliki banyak kesamaan: turing, motor trail, videogame, snowboarding, hiking, dan memecahkan berbagai rekor, dengan segudang piala dan medali untuk membuktikannya. Zaki tersenyum ketika dia menangkap pandangan Tiwi, dan Tiwi membalas seringainya. Kalau saja dia tidak kenal Zaki dari kecil, dia pasti mengira Zaki memakai lensa kontak.

Semilir angin sejuk lembut menerpa wajah Tiwi. Rasanya luar biasa di kulitnya yang panas, tetapi dia berharap tidak terlalu berangin supaya api tak padam. "Bagaimana kalau kita sampai tidak punya api?"

Zaki mengangkat bahu. "Cara kuno, gue rasa - tongkat kayu digosok-gosok."

Tiwi menyeringai dan menyenggol lengannya. "Bagus! Karena kita harus punya api juga besok. "

Menatap Tiwi, Zaki tersenyum. "Gue tahu banyak cara untuk membuat api. Itu yang paling primitif, tetapi yang jelas kita tetap punya api."

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun