"Jangan sembarangan nganggap Tiwi salah satu cewek penggemar lu, Mik," kata Zaki.
Ya, Miko punya koleksi gadis-gadis cantik yang mengerubunginya, meminta tanda tangan dan melayani setiap keinginannya, seolah-olah dia bintang film kondang.
"Sorry, gue minta maaf." Tatapan Miko beralih ke SOS yang dibuat Tiwi. Gadis itu tersenyum saat Mikobersiul. "Wah! Silau, men! Bayangan gue ngilang!" Dia mundur selangkah dan menutup matanya. "Persis videotron iklan pemadam kebakaran. Kalau ada pilot yang nggak ngelihat ini, kelewatan. Mana ada pilot buta."
Zaki menjatuhkan sepotong kayu apung lagi ke tumpukan yang . Dia membersihkan pasir dari tangannya. "Karya pemenang penghargaan akan menyelamatkan kita. Kita ngasih gelar Picasso ke lu bukan ngasal."
Tiwi tersenyum. "Terima kasih."
Otot-otot Zaki melentur di bawah kausnya saat kembali bekerja. Dia adalah seorang atlet bintang dan telah memimpin tim SMA mereka meraih kemenangan yang tak terhitung jumlahnya dalam cabang renang, sepak bola, dan bola basket.
Tapi Zaki tidak seperti Miko, yang memegang gelar yang tak terhitung jumlahnya di dunia olah raga selancar. Miko dan Zaki berbeda seperti siang dan malam, meskipun mereka juga memiliki banyak kesamaan: turing, motor trail, videogame, snowboarding, hiking, dan memecahkan berbagai rekor, dengan segudang piala dan medali untuk membuktikannya. Zaki tersenyum ketika dia menangkap pandangan Tiwi, dan Tiwi membalas seringainya. Kalau saja dia tidak kenal Zaki dari kecil, dia pasti mengira Zaki memakai lensa kontak.
Semilir angin sejuk lembut menerpa wajah Tiwi. Rasanya luar biasa di kulitnya yang panas, tetapi dia berharap tidak terlalu berangin supaya api tak padam. "Bagaimana kalau kita sampai tidak punya api?"
Zaki mengangkat bahu. "Cara kuno, gue rasa - tongkat kayu digosok-gosok."
Tiwi menyeringai dan menyenggol lengannya. "Bagus! Karena kita harus punya api juga besok. "
Menatap Tiwi, Zaki tersenyum. "Gue tahu banyak cara untuk membuat api. Itu yang paling primitif, tetapi yang jelas kita tetap punya api."