Miko berjalan mendekat dan mengambil beberapa potong kayu apung. "Gue setuju." Senyumnya yang berkilauan ditujukan ke Tiwi. "Lagian, gue nggak pernah bisa bilang 'no' kalau lu marah-marah yang bikin lu semakin cantik, Beib," katanya, lembut dan menawan seperti biasa.
Jantung Tiwi bagai berhenti berdetak. Apakah itu sebuah rayuan? Tidak. Miko sering ngomong begitu. Itu tidak berarti apa-apa... kan?
Tiwi tahu, menggoda adalah hal yang wajar bagi Miko seperti bernapas. Dia berkacak pinggang. "Gombal, nggak mempan buatku. Aku bukan salah satu penggemarmu yang termehek-mehek mendengar rayuanmu, Mik."
"Lu kebal sama ketampanan gue?" dia bertanya, menjatuhkan kayunya ke tumpukan.
Tiwi menusukkan jari ke dada Miko. "Benar."
Tapi kalau bisa Tiwi ingin menendang pantatnya sendiri karena berbohong. Kenapa dia tidak bisa mengungkapkan persaannya pada cowok itu? Apakah Miko hanya bercandaatau sebenarnya serius?
Miko mengedipkan mata dan menarik Tiwi mendekat. "Tapi gue yang nggak tahan."
Lengannya yang kuat terasa nyaman. Tiwi menatap matanya yang hijau berkilau itu. Napas Tiwi membeku saat melihat matahari bersinar menyala di pirangnya yang acak-acakan. Miko mengusapkan ibu jarinya ke pipinya dan tersenyum, dan Tiwi balas tersenyum. Dia sadar bahwa mereka sedang bermain api, dan dia bertanya-tanya apakah Miko akan membakarnya seperti dia membakar gadis-gadis lain. Dengan mata terpejam, Tiwi bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau saja Miko lebih dari seorang teman.Â
Tapi mengapa memikirkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi? Miko banyak omong dan tidak pernah punya masalah menggoda gadis-gadis cantik, termasuk sahabat-sahabat Tiwi. Dia tidak pernah serius berpacaran dengan salah satu gadis, dan dia juga tidak bisa serius memiliki perasaan untuknya. Tidak ada harapan sama sekali.