"Lu edan. Risikonya berat, Bro. tapi gue ngerti banget."
Mario menggesekkan kartu ke panel kontrol, dan pintu terbuka dengan bunyi klik keras.
"Hati-hati, Bro. Apa pun yang lu lakuin, jangan anggap sepele. Darahnya udah penuh sama virus. Pemerintah punya alasan bagus untuk menahan dia di karantina."
"Jangan khawatir. Aku nggak punya niat gabung dengan Komunitas Ahli Gigit dalam waktu dekat, aku janji." Dengan pandangan terakhir ke belakang, aku masuk melalui pintu baja yang berat. Begitu pintu tertutup di belakangku, aku tersadar: Tidak ada jalan untuk kembali sekarang. Aku menarik napas panjang dan memfokuskan pandanganku ke depan.
Ruangan itu tampak seperti bangsal tidur orang sakit lainnya, lengkap dengan dinding putih yang tampak steril dan aroma obat-obatan yang kuat seperti pemutih. Di paling kanan ada lampu besar yang memancarkan cahaya tak alami ke lantai keramik. Tempat tidur sempit paling kiri dengan seprai putih yang ditata membungkus seorang gadis yang tampak lemah memberi tahuku bahwa aku sudah berada di kamar yang tepat.
Aku melangkah maju dengan ragu-ragu, lalu berhenti, tiba-tiba tidak yakin apakah aku sudah melakukan hal yang benar atau tidak. Bagaimana jika dia sudah berubah? Bagaimana jika sudah terlambat untuk membantunya dan aku mempertaruhkan jiwa ragaku dengan sia-sia?
Bertengkar dengan diriku sendiri, aku mundur selangkah.
Tiba-tiba, Keiko berdiri. Tinjunya terkepal, dan matanya membelalak ketakutan.
Aku mencopot maskerku sebelum dia mendapat kesempatan untuk memukulku. "Hai! Ini aku."
"Bayu!" dia berkata. "Kamu tahu aku sudah ... digigit. Tapi kenapa  ... Kamu seharusnya tidak ke sini. Kamu tahu berdiri dekat aku saja sudah merupakan hukuman mati."
Perlahan-lahan aku membuka perban dari lengannya dan meringis. Bekas gigitan zombie itu tampak lebih buruk - jauh, jauh lebih buruk -Â dari yang kuperkirakan. Lendir nanah hijau kehitaman keluar dari luka terbuka di lengan bawahnya. Bau daging busuk menguar di udara.
"Seburuk itu, ya?" Keiko bertanya ketika dia melihat ekspresiku yang mengerikan. Suaranya bergema di dinding putih di ruang isolasi tertutup. Dia menyisir rambut cokelat panjangnya yang acak-acakan dengan jari. "Lucu bagaimana takdir mempertemukan kita. Aku menghabiskan waktu lama untuk mencarimu..."
Suaranya bergetar saat air mata menggenang di mata hijau jamrudnya. "Dan sekarang setelah kita bertemu, aku bahkan tidak akan menghabiskan satu jam saja untuk bersama denganmu."
Aku menghela nafas panjang. "Jangan bicara seperti itu. Kita akan punya banyak waktu bersama - begitu banyak waktu sehingga kamu mungkin akan bosan denganku."
"Bagaimana kamu bisa bilang begitu? And for your information, aku rasa aku takkan pernah ... Aku tak akan pernah bosan denganmu, Bay."
"Karena aku mungkin punya kesempatan untuk menyembuhkanmu?"
Dia mengangkat alis. "Maksudmu serum eksperimental?"
"Ya, aku mengambil sekantong vial dari lab."
Keiko terkejut. "Apakah kamu tahu apa yang akan terjadi jika kamu tertangkap?"
"Aku tidak peduli. Aku akan melakukan apa saja untuk menyelamatkanmu."
Aku tidak berbohong. Aku baru mengenal gadis itu beberapa jam, tapi ada sesuatu tentang dia, sesuatu yang berharga untuk diselamatkan, bahkan dengan risiko dipenjara atau mati. Lucunya aku tidak pernah mengira aku punya semacam tekad untuk melakukan misi penyelamatan dengan nyawa melayang sebagai risikonya dalam diriku - terutama untuk seorang gadis yang bahkan tidak kucintai. Tetapi setelah mendengar ceritanya, aku tahu bahwa aku akan melakukan apa saja untuknya. Dia membutuhkanku, dan aku akan selalu berada di sisinya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H