"Lu edan. Risikonya berat, Bro. tapi gue ngerti banget."
Mario menggesekkan kartu ke panel kontrol, dan pintu terbuka dengan bunyi klik keras.
"Hati-hati, Bro. Apa pun yang lu lakuin, jangan anggap sepele. Darahnya udah penuh sama virus. Pemerintah punya alasan bagus untuk menahan dia di karantina."
"Jangan khawatir. Aku nggak punya niat gabung dengan Komunitas Ahli Gigit dalam waktu dekat, aku janji." Dengan pandangan terakhir ke belakang, aku masuk melalui pintu baja yang berat. Begitu pintu tertutup di belakangku, aku tersadar: Tidak ada jalan untuk kembali sekarang. Aku menarik napas panjang dan memfokuskan pandanganku ke depan.
Ruangan itu tampak seperti bangsal tidur orang sakit lainnya, lengkap dengan dinding putih yang tampak steril dan aroma obat-obatan yang kuat seperti pemutih. Di paling kanan ada lampu besar yang memancarkan cahaya tak alami ke lantai keramik. Tempat tidur sempit paling kiri dengan seprai putih yang ditata membungkus seorang gadis yang tampak lemah memberi tahuku bahwa aku sudah berada di kamar yang tepat.
Aku melangkah maju dengan ragu-ragu, lalu berhenti, tiba-tiba tidak yakin apakah aku sudah melakukan hal yang benar atau tidak. Bagaimana jika dia sudah berubah? Bagaimana jika sudah terlambat untuk membantunya dan aku mempertaruhkan jiwa ragaku dengan sia-sia?
Bertengkar dengan diriku sendiri, aku mundur selangkah.
Tiba-tiba, Keiko berdiri. Tinjunya terkepal, dan matanya membelalak ketakutan.
Aku mencopot maskerku sebelum dia mendapat kesempatan untuk memukulku. "Hai! Ini aku."