Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Para Ksatria Mawar: 7. Damai Gurun

21 Maret 2023   05:31 Diperbarui: 22 Maret 2023   17:52 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Epilog

Dia berdiri di sana, sang ksatria, dalam baju zirah dengan pola kembang-kembang berwarna merah muda pucat pupus, sehingga banyak tentara lain yang akan memberontak demi memakainya.

Ksatria Pink tidak terlalu tinggi, tetapi cukup tinggi. Gurat kuning pada tunik yang mencolok cocok dengan pewarnaan sejumput rambutnya.

Seorang lelaki membawa senjata yang aneh, sebatang duri panjang seperti jarum kayu. Ujungnya berbutir darah yang begitu merah cerah sehingga nyaris ungu.

Para wisatawan berdatangan untuk melihatnya, kadang-kadang bahkan berdoa, karena darah itu selalu murni dan segar.

Sang prajurit tidak bergerak, dia hanya tersenyum sambil menatap keabadian yang hanya bisa dilihat olehnya sendiri. Bahkan di padang pasir, cakrawala sesungguhnya punya batas. Namun matanya tertuju pada bintang-bintang yang jauh dan arang yang mengendap, yang tidak terlihat oleh mereka di sekitarnya.

Di padang pasirnya hanya ada kedamaian. Burung Rajawali berburu di tempat lain. Dubuk berlalu di bawah penguasa malam mereka, Gundik Bulan. Bahkan duri kaktus sedikit melunak, sehingga kelinci dan anak-anak dapat berjalan berdampingan dengan sang prajurit.

Konflik

Di bagian tengah cerita, pertempuran yang terjadi berlarut-larut dan mengerikan, selalu seperti itu. Hanya sedikit meriam yang ditembakkan, dan sedikit saja kerusakan, tetapi itu tidak mengurangi orang-orang berlarian panik dari satu tempat perlindungan ke tempat perlindungan lain. Batuk yang mendera dari luka yang menyiksa, bernapas dengan susah payah di parit dangkal saat malam tiba dan debu menempel pada bibir dan lidah pecah-pecah karena begitu lama tanpa tetesan air sehingga menjadi kulit busuk.

Para pejuang telah memulai pertarungan mereka dengan memakai kamuflase bayangan dan pasir, berpura-pura dan bermain pedang di atas gumuk bukit rendah dan di sungai yang kering kerontang. Tetapi jelas bahwa perang ini hanya akan mengarah pada perampasan lahan dan kebanggaan semu yang tak ada habisnya, dibayar dengan tulang dari anak laki-laki yang sekarat dengan nama ibu mereka terjebak di dalam rongga mulut mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun