"Sepertinya tidak ada apa-apa," kata Sheila. "Menurutmu mereka memakai narkoba?"
Aku mengangkat bahu, ragu-ragu. Tidak cukup naif untuk berpikir bahwa tidak ada narkoba di tempatku tinggal, tetapi melihat efeknya membuat aku takut.
Dor! Dor!
Sebelum aku bisa menjawab, suara tembakan bergema dari mobil polisi yang mendekat. Aku memeluk Sheila dan memaksa kepalanya menunduk seperti yang kulihat di film dan televisi. "Sepertinya polisi menembaki kerumunan!" aku berteriak.
"Tidak! Tidak mungkin polisi menembak masyarakat." Sheila mencengkeram dadanya. "Adikku ada di bawah sana. Aku harap dia baik-baik saja."
Kereta tersentak ke depan. Saat kami mulai turun, Sheila mencondongkan tubuh ke arahku untuk melihat lampu yang berkelap-kelip.
Aku mencengkeram tangannya. "Kita akan menemukan adikmu. Aku berjanji."
"Makasih, Bay."
Jerit mengerikan merobek udara, diikuti oleh geraman dan desisan.
"Suara apa itu?" tanya Sheila, dengan panik melirik ke bawah kami.
Mengintip melewati bola lampu kuning yang berkelap-kelip di sekelilingku, aku mencoba melihat apa yang terjadi di bawah. Naluriku menyuruhku bersiaga akan bahaya yang akan kami hadapi. Aku tahu peluru nyasar bisa mengenai kami, atau salah satu orang yang gila karena narkoba mungkin memutuskan untuk menyerang kami. Kami harus keluar dari sana, cepat, sebelum sesuatu terjadi. Angin dingin menerpaku saat kereta berhenti.
Aku memeriksa ke sekeliling area mencari rute pelarian terbaik. Orang-orang gila menggigit dan mencabik-cabik mereka yang berteriak-teriak. Darah menodai pakaian dan aspal di bawah kaki mereka. Perutku mual, siap untuk memuntahkan burger, Â permen kapas, dan apapun yang kumakan tadi.
Aku ingin menjerit, Ini pasti mimpi! Orang-orang tidak mungkin saling gigit seperti kanibal! Itu pasti ada pembuatan video prank. Tapi aku tahu dari bau logam asin aneh yang menyebar di udara bahwa darah itu terlalu nyata. Itu bukan lelucon, tapi hal paling menjijikkan yang pernah kulihat dalam hidupku!
"Bay, apa yang terjadi?" tanya Sheila sambil mengguncang bahuku dengan panik.
"Aku tidak tahu, tapi kita harus keluar dari sini."
Orang-orang seperti kerasukan berjalan ke arah kami. Denyut nadiku berdebar kencang. Aku berputar cepat dengan harapan bisa keluar ke arah lain, tapi pintu masuk diblokir dengan lebih banyak orang yang masuk. Pembatas jalur jatuh ke tanah dengan dentang keras.
"Kita terjebak!" kata Sheila sambil mencengkeram lenganku erat-erat.
"Tidak!" Aku menggeleng. "Jangan berpikir begitu. Kita harus memanjat bianglala."
"Dan jika itu tidak berhasil?"
Aku ragu-ragu, mempertimbangkan kata-kataku. "Kalau begitu kita melawan," kataku, berusaha melawan bau busuk yang menusuk hidung.
Suara parau - geraman aneh -Â terpancar dari kelompok itu saat mereka menatap kami seolah ingin merobek daging kami. Kulit mereka kehijauan dan pecah-pecah, pakaian robek, dan mata putih. Lensa kontak? Katarak yang parah? Efek khusus? Aku tidak tahu, tapi aku harus siap untuk menghadapi mereka.
Seorang gadis berambut hitam panjang beringsut mendekat. Dia tampak pucat, kepalanya miring secara tidak wajar. Aku mengenalnya: adik Sheila!
"Yeyen!" teriak Sheila. Suaranya diliputi emosi. "Ya ampun! Apa yang terjadi denganmu? Kamu membuatku takut."
Yeyen tiba-tiba menerjangku, membuka rahangnya seperti anjing gila. Hanya beberapa sentimeter lagi giginya akan ternggelam ke leherku ketika seorang polisi melepaskan tembakan. Yeyen - atau apa pun dia -Â terlempar ke tanah.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H