Roseraie menarik Sumpah Serapah dan menjentikkan ujung jarum dan meneriakkan seruan perang kematian rakyatnya. Para remaja berbalik menghadapnya, melihat kilauan Sumpah Serapah, dan percaya pada takdir mereka. Atau mungkin tahu bahwa takdir percaya pada mereka.
Roseraie de l'Hay menggedong anak Orang Purba yang menangis terisak, tidak lebih besar dari sekarung tepung, dan membawanya di pinggul kirinya sambil mencengkeram Sumpah Serapah di tangan kanannya.
Akhirnya dia bertemu dengan tiga wanita dari Orang Purba yang sedang mengambil air di tepi sungai.
"Aku punya sesuatu milikmu," kata Roseraie de l'Hay.
"Kamu tidak punya apa-apa," gumam salah seorang wanita. Orang Purba tidak pernah banyak berbicara, apalagi dengan bahasa baru yang telah menyebar seperti api di antara penghuni dunia luas.
Ksatria Magenta menurunkan anak itu yang pada saat itu terhibur dari goyangan pinggulnya dan irama tawanya, dan menjadi tenang.
"Dia sudah bukan punya kami lagi," kata wanita Orang Purba itu setelah menghirup bau si bocah dalam-dalam.
"Anak-anak adalah anak-anak."
"Ambil dan pergi."
"Tidak."
Sumpah Serapah bergetar di tangannya, tetapi Roseraie de l'Hay benar-benar menunjukkan kepada para wanita itu takdir mereka, meskipun Orang Purba bukan haknya untuk diadili.