Tidak ada gunanya mempertahankan panggilan percakapan dengan wanita yang bernama Nikki itu sekarang.
Aku meletakkan gagang telepon kembali ke dudukannya dan berdiri sejenak dengan tangan masih memegangnya.
Mencoba memikirkan tentang 'Reformasi' yang disebutnya, aku tak yakin yang dimaksud adalah peristiwa yang menyebabkan runtuhnya rezim Soeharto dua belas tahun silam. Setelah beberapa detik berpikir tanpa hasil, aku melipat sapu tanganku dan mengembalikannya ke saku jas.
Naluriku mengatakan aku tak punya banyak waktu lagi di sini, maka aku mulai memeriksa kantong Archer secepat mungkin. Tidak ada barang penting yang terlihat di dompetnya, dan aku baru saja mengeluarkan isi salah satu saku celananya ketika terdengar bunyi anak kunci diputar di pintu depan.
Dengan cepat aku memeriksa saku celana Archer yang tersisa, lalu melirik ke sekeliling ruangan. Untuk pertama kalinya aku melihat sebuah pintu di sudut terjauh. Saat bergegas menyeberang ke sana, terdengar pintu depan terbuka dan tertutup.
Aku menyelinap ke dalam kamar yang jelas-jelas merupakan kamar tidur Ranya. Ada wangi parfum samar-samar yang kukenal. Membiarkan pintu terbuka beberapa milimeter, aku segera melihat sekeliling untuk mencari jalan keluar lain.
Hanya ada jendela yang tertutup tirai sutra panjang. Aku menarik tirai ke samping sepelan mungkin dan menghela napas lega. Itu adalah pintu geser bergaya teras yang tidak terkunci. Di luar ada balkon.
Membiarkan pintu teras terbuka, aku kembali ke pintu, bertepatan waktunya untuk melihat Ranya yang mengenakan gaun malam yang menarik masuk melalui pintu ruang tamu. Dia tampak bingung, dan aku yakin dia terkejut melihat tas Archer di lantai lorong. Ekspresinya berubah saat melihat boneka yang dirudapaksa, kursi yang terbalik, dan katalog lelang. Kemudian dia melihat tubuh Archer.
Tanpa sadar dia mundur selangkah seakan menghindari pukulan. Ranya mencengkeram tas tangannya dengan begitu keras sehingga bagian putih buku-buku jarinya terlihat.
Setelah sekitar satu menit, dia perlahan melangkahi hati-hati tubuh itu. Terdengar bunyi 'klik' saat ujung sepatunya mengunjak kronometer. Dia berhenti untuk melihatnya, lalu menunduk.
Telepon berdering. Ranya menegakkan badannya. Aku bisa melihat kerutan kecil di keningnya. Dan mendadak dia tampak berhasil menguasai dirinya.
Ranya pergi ke seberang dan mengangkat gagang telepon.
Dia sama sekali tidak berbicara, tetapi samar-samar aku bisa mendengarkan suara celoteh meskipun tidak dapat kupahami. Sudut bibirnya menipis, dan akhirnya dia menyela.
"Nikki, berhenti bicara dan tutup telepon," perintahnya. "Sesuatu yang mengerikan telah terjadi ..."
Masih terdengar suara celotehan dari telepon, hingga Ranya kehilangan kesabaran. "Saya harus menelepon polisi," dia membentak, "jadi tolong tutup telepon!"
Dia membanting gagang telepon. Tangannya gemetar saat dia menahannya untuk memastikan sambungannya terputus. Kemudian dengan perlahan dia mengangkatnya lagi, dan aku menyimpulkan bahwa dia sedang menghubungi nomor darurat.
Aku tidak menunggu untuk mendengar percakapannya, tetapi diam-diam menuju pintu teras dan keluar ke balkon. Menarik napas dalam-dalam, udara dingin memenuhi paru-paruku. Untungnya, balkon-balkon itu membentuk lingkaran di setiap lantai, hanya dinding rendah yang memisahkan setiap apartemen. Di sebelah kanan aku bisa melihat cahaya lampu menyala di ruang tamu, tetapi apartemen di sebelah kirinya gelap, begitu juga dengan apartemen di sebelahnya.
Aku menyeberangi tembok pembatas yang rendah dan mencoba membuka pintu balkon. Terkunci. Tapi aku beruntung dengan apartemen di sebelahnya. Pemiliknya tidak mengharapkan siapa pun untuk mencoba masuk melalui balkon.
Sesampaiku di jalan raya di bawah, aku melebur dengan kerumunan orang yang berlalu lalang, lalu menyetop taksi agak jauh dari kompleks apartemen. Setelah duduk di kursi belakang, aku menyebutkan alamatku.
Saat kami melaju pergi, aku menatap melalui jendela belakang pintu gerbang masuk Mediterania Lagoon, tetapi tampaknya cukup sepi. Saat kami tiba di tikungan jalan, taksi yang kutumpangi hampir tertabrak mobil polisi yang berbelok dengan kecepatan tinggi, menyebabkan pengemudi taksi membanting ke kiri kemudinya dan roda depan membentur trotoar.
"Setan!' dia berteriak memaki. "Memangnya jalanan milik nenek moyang kalian?"
"Mungkin terlalu banyak nonton film serial televisi," sahutku, berusaha terdengar sesantai mungkin, lalu diam tanpa melanjutkan percakapan. Aku memutuskan bahwa dia tidak boleh mengingat apa pun tentang penumpangnya ini.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H