Mereka adalah ular di liangnya. Kulit warna-warni mereka berjoget dan bergoyang. Wajah mereka dicat seperti lukisan Renaisans salah musim. Perona pipi membuat mereka terlihat merah secara permanen atau lebih buruk lagi, sakit karena salah makan. Kelopak mata mereka dicat China Blue dan bibir mereka pucat dan belang lembut seperti alat kelamin wanita.
Mereka adalah para pelacur di La Maison du Vierge.
Pelacur adalah ular.
Mereka meletakkan bir di atas meja, meletakkannya di pangkuan pria, memperlihatkan payudara mereka, menari, dan bertingkah seakan terpesona dan jatuh cinta pada dunia.
Bocah itu, baru empat belas tahun, diantar oleh ayahnya untuk bermain piano. Mereka membutuhkan uang.
Meski undang-undang melarang anak di bawah umur berada di rumah pelacuran, tetapi polisi tidak terlalu peduli dengan rumah bordil dan lebih sering menjadi pelindung di bar daging. Siapa yang tidak suka musik saat payudara melotot dan minuman keras tumpah ruah membakar gairah?
Anak laki-laki tersebut ditertawakan oleh ular-ular itu. Dia dibelai saat bermain piano. Terkadang mereka membuat celananya berantakan. Namun, ini tidak menghalangi fokusnya pada piano.
Itulah keajaiban yang sebenarnya, dan para pria di rumah bordil itu terkesan. Fokus bocah itu begitu murni. Piano, piano, dan piano. Dan dimainkan dengan sangat ahli.
Anak laki-laki itu bermain sampai jam tiga pagi ketika dia menutup musiknya dan berusaha melarikan diri. Namun dia sering dihentikan oleh seekor ular yang menariknya ke sudut-sudut suram atau kamar-kamar berbau busuk dan si ular memuaskan dirinya sendiri dengan anak laki-laki muda berambut pirang yang tampan itu.
Anak laki-laki itu akan menerima upahnya dari pemilik rumah bordil, melarikan diri ke seberang kota, dan meninggalkan uangnya di atas meja dapur.
Kemudian dia merangkak ke tempat tidur dengan bau liang ular yang melekat, dan menangis. Dia dilecehkan dan tidak punya cara untuk mengungkapkannya. Dia tidak pernah mengatakan yang sebenarnya kepada keluarganya. Terlalu memalukan.
Musik.
Dia punya musik.
Ya, mungkin dia bisa mengekspresikan dirinya lewat musik.
Dia, Johannes Brahms.
Bandung, 8 Maret 2023
Catatan:
Menurut Jan Swafford yang menulis biografi Johannes Brams, Johannes muda (13 tahun) bermain piano di Animierlokalen Hamburg (pub stimulasi). Ini lebih mirip saloon di barat Amerika daripada rumah bordil, tetapi pelacur memang bertransaksi di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H