Tuan Samudi berkata, Dengan bayaran tertentu dia akan mengubah siapa pun yang  saya pilih menjadi serangga yang sangat besar.
Pada awalnya, saya skeptis. Saya duduk di seberang meja, di kantornya yang lembap dan apak, tidak yakin apakah akan mempercayai pria ini dengan matanya yang berkedip cepat dan gerakannya yang kikuk dan kejang-kejang. Tentunya dia hanya orang gila dengan delusi transmogrifikasi entomologis.
Sampai kemudian orang-orang mulai berubah di seluruh kota. Ditemukan berkeliaran di gang atau tenggelam di tempat pembuangan akhir.
Berubah.
Itulah kata yang digunakan orang. Mereka telah diubah. Gosip kota menyebarkan desas -desus tentang kepala aneh, kepala alien. Mata cembung, mandibula yang bisa menggigit lurus dan mengunyak kaki manusia pria. Koran lokal menyebutnya wabah.
Orang-orang ke mana-mana menbawa kaleng semprot cairan anti serangga. Seseorang stand up komedian bercanda bahwa seharusnya di atas puncak menara jam balai kota dipasang lampu pembunug serangga raksasa. Karena tidak ada yang menganggapnya lucu maka tidak ada yang tertawa.
Saya kemudian kembali menemui Tuan Samudi. Situasi hidupnya telah membaik sejak terakhir kali saya melihatnya. Kantornya menjadi gedung lima lantai dengan pemandangan ke taman. Dia duduk, tergeletak di sofa kulit putih, sementara TV seukuran dinding menayangkan opera Verdi Aida.
Dia menyesap sampanye dan melambaikan tangan ke kamar. Asistennya berlari ke dapur, mengintip saya dari celah di pintu.
"Anda kembali. Anda telah melihat buktinya dan sekarang Anda percaya."
Saya mengangguk.
"Apakah Anda di sini untuk memberi saya nama?"
"Anda harus berhenti."
"Mengapa? Orang-orang membutuhkannya."
"Ini balas dendam, pembunuhan. "
"Saya hanya memberikan apa yang diminta dari saya."
Saya berdiri. Saya ingin keluar dari ruangan itu. Sesuatu mengawasi saya dari atas, dan saya tidak akan melihat ke atas.
Saya mengucapkan selamat tinggal kepada Tuan Samudi dan dia memiringkan kepalanya ke arah saya, cara komunikasi yang dia sukai.
Saya berjalan keluar dari gedung dan berlari sepanjang perjalanan pulang. Saya bisa melihat bentuk-bentuk yang tidak wajar berkedut dalam kegelapan, bisa mendengar klik dan kertak rahang kulit yang keras, bisa merasakan kipasan angin sayap, penuh kehidupan yang tidak terlihat.
Mereka menyaksikan dari dalam rumah mereka, dari selokan, pepohonan. Getar dalam kegelapan yang penuh dengan niat jahat.
Saya sampai di rumah, membanting pintu di belakang saya dan tahu tidak akan lama lagi giliran saya tiba.
Bandung, 6 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H