Putri Tiara menantang dengan membelakangi jeruji yang menahannya. Dia mengenakan baju zirah yang melindungi seluruh tubuhnya, tetapi tidak membawa senjata.
Dia tidak akan bisa berjuang untuk keluar dari situasi ini. Itu akan menjadi pertarungan kecerdasan. Mereka membutuhkan kerja samanya dan dia tahu itu. Tetap saja, mereka bisa mempersulit hidup jika dia tidak ikut bermain.
"Ayo Putri. Ini bukan masalah besar," Pendeta Agung memohon.
"Kalian harus mengubah kesepakatan kalau kalian ingin bantuanku," kata Tiara.
"Apa yang dia katakan?" tanya raksasa berjanggut yang sepertinya selalu mengintai di dekatnya. Tiara menganggapnya sebagai raksasa bodoh yang akan lebih mudah untuk diajak berunding. Tetapi dia lebih merupakan pemeran figuran dan bukan tokoh utama, bahkan bukan pula peran pembantu.
"Aku tidak punya ide!" bentak Pendeta Agung. "Aku bukan pembaca pikiran."
"Aku tahu apa yang kamu suka. Ayo pergi ke ruang makan utama dan kita makan makanan kesukaanmu," ajak Pendeta.
"Aku tidak tertarik," sergah Tiara dan menegaskan kata-katanya dengan menggunakan alisnya.
Raksasa itu bersendawa dengan keras lalu pergi sambil menggaruk-garuk punggungnya saat dia keluar kamar.
Dan Tiara membuat kesalahan.