Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Skandal Sang Naga (Bab 10)

2 Maret 2023   00:00 Diperbarui: 2 Maret 2023   00:08 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Mediterania Lagoon adalah blok apartemen dua pencakar langit mewah super modern. Lift dengan cepat membawaku ke lantai dua puluh satu.

Aku menyusuri koridor berlantai marmer, melewati setengah lusin pintu kayu jati sebelum tiba di unit nomor 12.

Aku menekan bel pintu, meluruskan dasiku, dan kubayangkan wajah cantik Ranya yang menyambut membuatku tersenyum sendiri. Dengan sia-sia aku menunggu di depan pintu selama beberapa menit, lalu membunyikan bel lagi.

Saat bel berhenti berdering, aku menempelkan telinga ke pintu. Tidak ada suara pintu bagian dalam dibuka atau tumit stiletto yang mendekat dengan panik sebagai tanda ada penghuninya buru-buru menyambutku. Tak ada bunyi sama sekali.

Aku melirik jam tanganku. Pukul tujuh tiga puluh tiga menit. Aku mengerutkan kening, lalu meletakkan ibu jariku di bel pintu dan bersandar di sana.

Melepaskan jari jempolku setelah tiga puluh detik untuk menghentikan dering yang seperti mengejekku, aku memutuskan akan menelepon Ranya nanti, jika perasaan setengah kesalku yang sekarang berkurang, 'Menjalankan Tugas' tidak lebih dari sekadar tawa hampa.

Aku baru saja berbalik dari pintu ketika mendengar suara gesekan di kakiku. Aku melihat ke bawah. Sebuah kunci kuningan menyembul dari bawah pintu.

Aku ternganga sesaat, lalu membungkuk dan mengambilnya. Melemparkan kunci ke atas dan ke bawah di telapak tangan, sambil berpikir, Apakah ini petunjuk bagiku untuk 'masuk saja, anggap rumah sendiri'?

Aku memasukkan anak kunci ke dalam lubang dan membuka pintu. Ada lorong kecil di balik pintu. Di lantai, terdapat sebuah tas yang terbuka. Mendorong pintu untuk melihat lebih dekat ke tas itu. Pada pegangannya terdapat label bagasi. Nama yang tertera di atasnya adalah A. Archer.

Di seberangku ada pintu ruang tamu yang setengah terbuka. Aku menyeberang ke sana, mendorongnya lebar-lebar, melangkah masuk, dan membeku. Di tengah karpet terdapat apa yang dulunya sebuah boneka gadis Cina dalam kostum cheongsam. Hanya kini pakaian boneka itu koyak dan isiannya bertaburan di atas karpet. Tidak jauh dari boneka itu tergeletak katalog lelang yang ditunjukkan Archer di meja resto Naga Cina.

Samar-samar, hidungku mencium bau tembakau rokok yang kukenal, dan dengan waspada aku menatap ke sekeliling ruangan. Meja berkaki gelendong yang terbalik, lampu berlapis emas di sampingnya, vas porselen yang pecah dan bunga mawar yang berserakan.

Lalu tiba-tiba saya melihat kaki yang anehnya terlalu kecil untuk orang sebesar Archer, tertekuk membentuk sudut siku-siku satu sama lain. Aku melihat jeans belel, T-shirt yang sobek, asbak kristal besar bernoda darah di samping kepala dengan potongan rambut pendek model tentara.

Mungkin aku telah memandangi Archer selama tiga puluh detik sebelum menyadari bunyi itu. Detak berirama yang mendominasi ruangan yang sunyi.

Aku berputar dan menukik pada kronometer yang tergeletak menghadap ke atas di lantai.

Terdengar suara seseorang berteriak, 'Demi Tuhan, diam!' yang ternyata adalah suaraku sendiri. Aku menjatuhkan benda itu kembali ke lantai, menegakkan punggung, dan kembali ke tubuh Archer.

Aku tidak menyukai apa yang kulakukan, tetapi kemungkinan bahwa dengan menggeledah saku Archer dapat menghasilkan petunjuk tentang identitas pembunuhnya membuatku membungkuk, dan mendadak melompat ke belakang seolah-olah aku terkena tembakan.

Aku sangat gugup, dan dering telepon yang tiba-tiba di ruangan itu sama saja seperti letusan peluru di di perpustakaan.

Aku menenangkan diriku dengan menggoyang badan seperti anjing dimandikan paksa dan beralih ke telepon yang terletak di atas meja kecil di samping sofa.

Awalnya aku ragu-ragu, lalu mengangkat gagang telepon dengan menutupi tanganku dengan saputangan di saku dada jas.

Terdengar suara seorang wanita yang terengah-engah. "Ini Nikki. Aku benar, Ranya. Dia sangat ingin tahu tentang Mike dan Reformasi. Aku pikir sebaiknya..."

Suara itu bergetar tidak pasti, lalu melanjutkan dengan nada mendesak, "Ranya, ini kamu, kan?"

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun