Awalnya, aku mempertimbangkan untuk mengganti tempat langganan laundry. Maksudku, tentu saja, Londre Kebes hanya berjarak dua blok dari apartemenku, tapi ada sesuatu tentang kehadiran hantu gadis di dekat mesin pengering yang menghilangkan sensasi menunggu cucian basahmu sambil duduk di kursi plastik jelek menunggu sampai pekerjaan selesai.
Lebih buruk ketika pelanggan yang datang berempat, karena tidak ada yang mau terjebak menggunakan pengering terakhir di sebelah kiri.
Semakin dekat dengan gadis hantu itu, semakin aneh rasanya. Dia akan menatapmu dan menawarkan balon merah muda yang diikatkan di pergelangan tangannya. Rasanya seperti kulitmu mencoba melepaskan diri dan kabur.
Aku tetap tinggal karena dia membuatku terpesona, meski sebenarnya aku juga merasa takut.
Lagi pula, laundry lain berjarak lima blok jauhnya.
Hantu itu dulunya bernama Gity Savitra. Dia dipukuli sampai mati di selasar belakang Londre Kebes oleh gadis-gadis punk yang dendam terhadap kakak perempuannya. Tiga perundung yang didakwa, dua yang dihukum. Yang ketiga masuk penjara beberapa tahun kemudian setelah terlibat dalam perundungan lainnya.
Hal-hal semacam ini viral di kanal berita online, sehingga gampang sekali melacak detailnya. Namun, kebanyakan orang tidak peduli.
Kita terlalu terbiasa melihat hantu. Terlalu terbiasa menemukan cara untuk mengatasinya.
Aku tertarik dengan kisahnya karena balon itu. Aku telah melihat banyak hantu di sekitar kotaku, tetapi mereka biasanya tidak bermanifestasi dengan properti. Ada hantu tentara kavaleri tua tanpa kepala , di sudut Jl. Maluku yang masih bisa memanifestasikan kuda dan pedangnya, dan hantu perawat di lantai dua sekolahku di Jl. Kalimantan yang memegang lentera biru gaib, tapi keduanya adalah hantu kuno yang sudah ketinggalan zaman, ketika kita memperlakukan hantu secara berbeda.
Hari-hari ini kita beruntung jika hantu bisa memanifestasikan celana untuk menutupi diri, apalagi orkestrasi lengkap dan aksesoris yang menyertainya.
Hantu, seperti yang lainnya, adalah korban disruptif teknologi. Kita tahu terlalu banyak tentang mereka, memperlakukan mereka seperti balita tantrum yang mengamuk di mal. Hanya perlu menyingkirkan satu hal yang membuat keberadaan mereka dapat diterima.
Ada cara yang lebih beradab untuk mengungkapkan kemarahan daripada mengambang di antara dimensi untuk selama-lamanya.
Ya, bahkan sekarang, setelah kematian.
Kita memberi tahu hantu tentang hal ini, berulang kali, sampai mereka mulai terlihat melemah dan buram.
Kali ini, aku pergi ke sana bersama temanku Desy dan pacarnya. Aku telah memberitahu mereka tentang gadis hantu itu dan Desy ingin melihatnya. Pacarnya, Ferdy Syaukan, sepertinya tidak terlalu menyukainya. Ferdy membuat lelucon tentang Gity yang ingin mermpunyai teman wanita lain, tetapi itu tidak benar-benar lucu dan sama sekali tidak terlihat seperti lelucon.
Aku merasa, saat kami berjalan ke Londre Kebes, bahwa keduanya sedang dalam masalah.
Lebih buruk lagi, ketika kami sampai di sana, Ferdy membujuk Desy untuk pergi dan menerima balon dari gadis hantu itu. Dia tahu itu bodoh - kita semua tahu itu bodoh - tapi Desy tetap melakukannya.
Desy mendekati hantu Gity Savitra, melingkarkan jari-jarinya menggulung pita merah muda. Gadis hantu itu tersenyum, melepaskan pitanya, dan Maya langsung jatuh ke ubin yang retak, berkedut, sampai kami menyeretnya keluar pintu menuju sinar cahaya matahari yang hangat.
Bandung, 21 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H