Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 80: Lalu Lintas Satu Arah

19 Februari 2023   06:06 Diperbarui: 19 Februari 2023   06:10 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.lmfm.ie/news/lmfm-news/kelly-claims-one-way-traffic-system-signs-in-dundalk-graveyard-are-being-completely-ignored/

Ibu jarinya ragu-ragu menyentuh nama kontak di layar ponsel.

Haruskah dia menelepon?

Apa yang akan dia katakan?

Dia mendongak dan menghela napas perlahan. Hembusannya mengembang di udara bulan Februari yang mengingatkannya pada tahun-tahun dia merokok dan dia merasakan sedikit kerinduan untuk memulai lagi.

Dia melihat pondok di seberang jalan. Bangunan itu tampaknya membalas tatapannya, kemiringan khusus atap memberi kesan yang simpatik saat dia berdiri di jalan masuk. Dia melihat ke layar ponsel dan menyadari bahwa ibu jarinya masih melayang di posisi yang sama.

Haruskah dia menelepon?

Dia memikirkan percakapan itu dalam benaknya.

"Halo, ini aku. Maaf telah menelepon. Aku sih, tidak yakin mengapa aku harus menelepon. Mungkin aku hanya ingin mendengar suaramu."

Tidak, itu tidak bagus. Apa yang dia pikirkan? Apa yang akan dia capai dengan menekan ibu jarinya ke nama itu?

"Hai, aku seharusnya memberitahu bahwa aku sayang kamu, tetapi kita sama-sama tahu. Kamu juga tidak mengatakannya apa-apa. Tetapi apakah benar-benar...."

Tidak, tidak, tidak, dia bodoh. Dia berdiri tegak dan memeriksa simpul dasinya dengan tangannya yang bebas dan merapikan jasnya.

Kemudian dia menekan ibu jarinya ke layar dan mendekatkan telepon ke telinganya dengan sikap yang agresif.

Dan seperti yang dia lakukan, mobil jenazah dan pengantar perlahan-lahan keluar dari pekarangan, berhenti di jalan seperti menegur perbuatannya yang  kekanak-kanakan.

Dan ketika mereka berdiri di hadapannya, dia baru sadar bahwa istrinya yang duduk di sampingnya bertanya dia menelepon siapa.

"Tidak ada ... Aku hanya memastikan ... bahwa dia benar-benar..." Kata-katanya terdengar dari tempat di luar dirinya.

Maaf, nomor ini sudah tidak aktif - bergema di telinganya lalu memudar menjadi dengung rendah dan keras saat dia duduk di kursi depan di mobil pertama.

Bandung, 19 Februari 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun