Pertama, letakkan lenganmu sekendurnya di samping tubuh. Luruskan punggung jadikan sebagai tongkat yang menjepit ke peta bumi yang luas. Tekuk lenganmu hanya di siku. Angkat tanganmu di depan, telapak tangan ke atas. Satukan kedua tangan, kelingking ke kelingking, pergelangan tangan ke pergelangan tangan. Rasakan denyut nadi bergelenyar di kedua tangan. Keritingkan jari ke atas dan ke dalam membuat mangkuk tersendiri. Seperti dalam permainan anak-anak. Seperti saat mengemis. Biarkan kosong, mangkuk ini. Jangan lampirkan apa pun padanya---tidak ada jenis kelamin, tidak ada nama, tidak ada kelembaman metafora. Hanyalah udara yang kamu genggam. Timbang, putar, diamkan. Berharap penuh. Berikan satu-satunya keinginanmu---pagi musim kemarau lainnya di tasik, senyum terakhir ibu, sepetak kulit halus favorit, gigi bengkok, pawai kemerdekaan terakhir yang hebat. Momen keinginan seperti kegelapan boleh jadi murni sebelum gulungan diklik dan film diputar, ketika kita semua orang asing, bersama, tanpa koneksi di luar mata yang terkunci ke depan, ketika kita semua tahu kegelapan seperti sendok teh perak terakhir, saat itu keinginan, tatapan berat ke dalam batok kelapa kosong, saat itu kita bisa melihatnya penuh, itu saja.
Bandung, 18 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H