Emma menatap angka-angka dan mengerutkan keningnya tujuh lipatan.
23.1 Instagram followers, IPK 3.97, dan 0 relationship. Bagaimana bisa dia menjadi mahasiswi Teknik Kimia selama empat tahun dan hanya merasakan beberapa kencan pertama yang berujung malapetaka?
Mengambil ponselnya yang bertatahkan blink-blink, dia menelusuri Instagram untuk postingan Valentine Day (#myvalentine #truelove #4evurrr #bae) sampai perutnya bergolak ingin memuntahkan coffee latte ramah lingkungan. Setidaknya, kalau pun sampai terbuang, isi perutku tidak merusak ekosistem, pikirnya.
Mencari-cari di Google secara acak, dan—
“Em? Em. Ground control to Emma Jannatul Rahmania!”
Emma tersentak dari kesibukannya dan mengintip ke balik ponselnya. “Oh, Erfan. Kamu, toh.”
Dia mencopot iPods dari telinganya. "Apakah tante Della akan terbang untuk menghadiri wisuda?" Tante Della mamanya Erfan.
Bocah laki-laki itu melompat ke salah satu tiang beton dan berdiri seimbang di sana, dengan tangan di saku. "Ya. Mama datang untuk menyeretku kembali ke Banda Aceh.”
Bukan ‘bocah laki-laki,’ Emma mengoreksi dirinya sendiri.
Erfan telah membudidayakan janggut yang membuat mahasiswa sastra Inggris cemburu dan mahasiswi menulis puisi yang mengerikan jeleknya. Tapi dia sudah mengenal Erfan sejak kelas lima, jadi dia selalu menganggapnya bocah. Dia punya foto murid-murid sekelas di Dropbox. Atau Tumblr? Mungkin Pinterest…
"Melamun lagi," kata Erfan sambil melompat turun. Dia mendorong iPhone Emma ke samping dan mendekatkan wajahnya di tempat benda itu tadi berada. "Apakah kamu akan kembali ke Aceh?"
Emma bergidik. "Buat apa aku jauh-jauh ke sini?" Lalu dia mengerutkan kening. “Tapi aku tidak pernah bertanya: mengapa dulu kamu memilih jurusan sastra Inggris UGM?”
Erfan batuk dan menggumamkan sesuatu tentang Malioboro dan London.
Selama jeda, Emma menghidupkan kembali ponselnya dan segera membenci pengumuman pertunangan sepupunya.
“Letakkan persegi pipih kesepian itu, Em.”
Emma menyembunyikan ponselnya di belakang punggungnya. "Aku tidak kesepian," katanya, sedikit terlalu keras. "Aku punya banyak teman."
Erfan menyilangkan tangannya. Erfan selalu bisa membaca pikirannya. “Media sosial tidak masuk hitungan.”
"Kata siapa?" Emma tergagap. "Aku punya kamu, dan ... dan Sri di Lab Biokimia."
"Sri siapa?"
"Sri Fatma ... eh, Sri Endah ... pokoknya Sri."
“I rest my case. Matikan iPhone-mu dan ikut aku ke Kopi Klotok.”
Emma tertawa dan membuka App Store. "Tapi kamu benci kopi."
Mungkin dia harus menginstal Tinder. Umur tidak bisa ditunda.
Saat dia menelusuri ulasan, Erfan pergi diam-diam.
Bandung, 15 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H