Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Monyet

15 Februari 2023   07:19 Diperbarui: 15 Februari 2023   07:25 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua gigi depannya berkilau diterpa sinar matahari. Tidak membutakan, memantulkan, atau menyilaukan. Sebaliknya, cahayanya lembut. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.

Namanya Mahiwal.

Dia ketua kelas. Selalu dipilih oleh para guru untuk menjadi kapten tim sepak bola. Penerima cokelat Valentine paling banyak.

Dia mendapatkan gigi palsunya setelah kecelakaan di lapangan setelah kehilangan yang asli. Gigi aslinya sempurna, tetapi penggantinya adalah manifestasi dari keberaniannya dan hanya menambah status popularitasnya.

Aku? Pendek, montok, dan setahun lebih muda dari teman sekelasku. Aku tidak tahu apa-apa tentang perbedaan gender kecuali anak laki-laki tampak lebih besar, lebih kuat, dan lebih mahir dalam olahraga.

Aku lebih suka buku. Teman laki-lakiku, Syauki, dengan rambut merah, bintik-bintik, kacamata, adalah pilihanku. Berteman dengannya rasanya senyaman saat bersama kakak perempuanku.

Syauki suka membuat sketsa pesawat luar angkasa yang fantastis dengan ketelitian seorang juru gambar.

Masih ada sesuatu yang membuatku tertarik pada Mahiwal. Pandanganku mengarah padanya selama jam pelajaran di kelas. Pendapatnya memenangkan setiap diskusi, dan karangannya tentang berbagai tema menghiasi majalah dinding. Aku mengaguminya seolah-olah aku kelaparan, dan dia adalah es krim sundae cokelat. Gigi perak sebagai topping-nya.

Aku sama sekali tidak menyadari bahwa aku sedang jatuh cinta.

Sekolah mengadakan piknik kelulusan kelas enam, yang diadakan di Dufan. Panas berkilauan di udara di atas lorong-lorong bertabur pasir yang diterbangkan angin laut. Kebal terhadap terik matahari, gerombolan anak-anak mondar-mandir di jalan setapak, berseru dan berteriak di sekitar Ontang-Anting dan Bianglala, saling dorong untuk menjadi yang terdepan dalam antrean.

Aku bukan anak kecil yang menyukai rasa takut. Film horor buatku sangat mengerikan, dan aku menghindari wahana yang lebih kejam daripada Turangga-rangga.

Aku bisa membayangkan diriku terlempar keluar dari Halilintar dan bergelantungan di perancah. Jadi lompatan besar ke masa remajaku, adalah saat aku  terjebak di antara bahagia mendapatkan kebebasan dan ketakutan yang membuatku lumpuh terhadap wahana penguji nyali.

Teman sekelasku sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. Mereka dengan rela melemparkan diri ke kursi yang berputar dan berpusing, mengangkatnya puluhan meter ke udara. Mereka mengangkat tangan ke atas saat kepala mereka tersentak ke belakang oleh gaya sentrifugal dan sentripetal. Mereka bersorak kegirangan. Sungguh, aku tidak ingin meringkuk di pojok sendirian. Aku ingin sekali merasakan kegembiraan mereka.

Kemudian mataku menatap Baku Toki, wahana boom boom car. Pengendaranya memiliki kendali atas kendaraan kecil, termasuk kemudi, ngebut, bertabrakan. Beberapa gadis beruntung mengendarai mobil yang sama dengan 'pacar' mereka. Aku memutuskan untuk mengambil risiko di Baku Toki.

Begitu giliranku tiba dan petugas mengambil tiketku, aku menurunkan pantatku ke dalam mobil.

Zzzzzzzz, listrik menyala, dan aku meluncur. Ke sana kemari, berputar-putar.

Bum! 

Pengemudi lain menabrakku. Satu, dua, tiga. Tiga kali lagi aku ditabrak beruntun dengan cepat.

Aku ingin bersembunyi di bawah bangku, tetapi itu akan membuatku buta dan mungkin berakibat fatal. Duduk tegak dan menyetir sebaik mungkin, memantul dari dinding atas belas kasihan setiap pengemudi lainnya. Aku begitu tegang sehingga badanku kaku, mungkin dalam bahaya yang bisa mematahkan anggota tubuh.

Setelah sekian lama yang rasanya berabad-abad, listrik mati dan perjalanan berakhir. Aku merosot, lalu terhuyung-huyung ke pintu keluar. Setiap otot di tubuhku berkedut.

Dan di sana berdiri Mahiwal.

"Mau naik boom boom car lagi bersamaku?" dia bertanya. Gigi peraknya berkilat di antara bibirnya yang tersenyum, dan sejumput rambutnya yang  hitam terurai di dahinya.

Tak tahu berkata apa, aku diam menatapnya. Aku tahu arti sebenarnya dari berbagi tumpangan. Saat itu, meski terlalu muda untuk memikirkan janji masa depan, anak kelas enam sudah berpengalaman untuk saling menggoda. Artinya, aku akan duduk di samping Mahiwal di singgasana kehormatan.

Lalu aku berbalik ke arah yang menakutkan, dan bergidik. Bisakah aku menantang bahaya dengan melakukan perjalanan untuk mencapai kebahagiaan bersama Mahiwal di sebelahku, bahkan lengannya bergetar menempel di bahuku?

"Jangan takut," katanya. "Aku akan bersamamu."

"Oke."

Aku berjalan bersama Mahiwal ke sebuah mobil dan duduk di dalamnya. Dia dengan hati-hati menjauh dari para pengendara yang berisik.

Setelah itu, dia mentraktirku gula-gula kapas yang kami berdua suka, dan kami berbicara tentang acara televisi favorit kami.

Sekolah berakhir, dan tak lama kemudian keluargaku pindah jauh. Aku tidak pernah melihat Mahiwal atau gigi peraknya lagi.

Aku sering bertanya-tanya, apakah kami bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman? Namun berkat dia, aku telah mengambil langkah berani pertama menjadi wanita saat berdiri di dekat Baku Toki. Aku mendapat pelajaran penting: bahwa seorang anak laki-laki (dan bukan sembarang anak laki-laki, tetapi Mahiwal!) dapat menyukaiku.

Di SMP yang baru, sebagai pendatang baru, aku adalah seorang penyusup, paria. Ketika berjalan sendirian menuju kelas, mencengkeram tas ke dadaku yang masih rata, atau membuka kantong kertas cokelat makan siang dan mengunyah roti selai srikaya dalam kesendirian yang indah, aku sering mengingat bagaimana mengatasi rasa takutku saat menaiki boom boom car bersama Mahiwal. Ini memberiku keberanian dan kepercayaan diri untuk mendekati orang lain.

Aku telah menemukan cara untuk mencoba romansa. Aku harus berani mengambil risiko.

Siapa bilang cinta monyet selalu berakhir buruk?

Bandung, 15 Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun