"Hal yang lebih buruk terjadi di laut."
Setiap kali terjadi hal-hal buruk, itulah yang selalu dia katakan.
Aku bertanya-tanya tentang 'hal-hal yang lebih buruk' itu lebih dari satu kali. Mengapa dia harus mengatakan itu, tepatnya.
Laut.
Apa yang kami berdua tahu tentang apa yang terjadi di sana?
Kami tinggal pelosok. Pedalaman. Jauh dari pantai. Terlindung di lembah yang permai.
Di tempat kami, cakrawala tidak ada. Tanah membuat dentuman yang dalam dan memuaskan saat aku berjalan di atasnya.
Buih, semburan, dan gelombang laut bagiku sama abstraknya dengan persamaan matematika kalkulus yang digoreskan di papan tulis. Laut adalah ide yang tidak kukenal. Tempat di mana hal-hal yang lebih buruk sangat mungkin terjadi.
Mungkin itu idenya.
Ada hal-hal yang lebih buruk di luar sana. Dan dia ingin aku mengetahuinya. Untuk memahami betapa kami aman dan nyaman di sini. Tanah yang menghidupi dan terlipat rapat di sekitar kami sebagai pelindung dari 'hal-hal yang lebih buruk'.
Sehingga ketika bencana datang, aku melihatnya melalui prisma deburan ombak yang menghanyutkan jauh hingga ke laut.
Dan itu tidak selalu lebih buruk.
Bunyi daun pintu di ketuk.
Dan sesuatu tentang beratnya, cara kepalan tangan menghantam kayu, sudah tidak asing lagi baginya.
"Siapa?" aku bertanya.
Dia menggelengkan kepalanya. Tidak akan mengatakan siapa itu yang ada di sisi lain.
Kemudian ketukan lagi. Lebih keras kali ini. Dan itu memang terasa seperti gelombang. Keterkejutannya, saat bergema di seluruh ruangan.
Dia membawaku kemudian dan menarikku bersama.
"Pergi ke atas dan tetap di sana."
Tangannya mencengkeram bahuku erat-erat mendorongku ke atas.
Aku berhenti di puncak tangga, tidak terlihat, tapi masih dalam jangkauan pendengaran.
Dan jika kamu bertanya padaku sekarang, apa yang aku dengar saat itu? Apa yang bisa kukatakan?
Hal-hal yang lebih buruk itu, ketika mereka datang, tidak selalu menarikmu turun dan menyeretmu keluar?
Ternyata hempasan ombak juga bisa saja berupa dentuman yang rendah dan berat. Kilatan lampu warna-warni. Ratapan yang berdering dan menusuk kuping. Di suatu tempat.
Jauh, tapi cukup tajam untuk memakumu hingga tak bergeser di tempat.
Di situlah mereka menemukanku, meringkuk dan diam. Masih di puncak tangga. Tangan menangkup telingaku, menekannya dengan sangat keras.
Seperti cangkang kerang besar, saat kamu mengambilnya dan meletakkan telingamu sangat dekat dengannya. Dan kamu mendengarnya saat itu. Bunyinya. Deburan ombak menerjang pantai.
Dan itu indah.
Gondangdia, 11 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H