Diam-diam Nada menyeka keringat dari bibir bawahnya. Dia benar-benar tidak bisa berbuat apa pun tentang tetesan keringat yang menganak sungai di ketiaknya. Bergeser sedikit di kursinya, dia menjauhkan lengannya dari tubuhnya. Itu tidak akan mengeringkan pulau gelap yang terbentuk di kemejanya, tapi mudah-mudahan akan menghentikannya agar tidak mengembang.
Pahanya bergesekan saat dia mencoba menyilangkannya dengan hati-hati. Roknya terlalu ketat. Githa selalu lebih kecil darinya. Di seberang ruangan, Tuan Tampubolon melanjutkan pertarungannya dengan mesin fotokopi. Dia membuat dehem-dehem kecil, pelan-pelan. Dia tidak yakin apakah itu kegembiraan atau kengerian.
Pita roknya terjepit lipatan perutnya saat dia mencondongkan tubuh ke depan. Buah dadanya yang menegang membuat kancing kemejanya hampir terpental. Ada keringat di lipatan payudaranya yang tergencet. Nada mengembusnya, lalu terbatuk pelan.
Batuk itulah yang akhirnya menarik perhatian Tuan Tampubolon.
"Hampir selesai, Nona Martalegawa...."
"Panggil saja Githa."
"Anda hanya perlu menandatangani kontrak."
Tuan Tampubolon mengeluarkan paspor dan salinannya dari mesin fotokopi dan duduk kembali di meja. Dia mendorong kertas ke arahnya. Nada mengambil kontrak itu, tangannya sedikit gemetar.
"Semuanya sesuai standar, Anda dapat memeriksanya, Nona Natalegawa. Maaf, Githa."
"Ya ... kelihatannya beres semua."
Dia menandatangani dengan cepat, bersyukur bahwa dia ingat untuk menandatangani nama Githa di bawah tatapan itu. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya sekarang dan dia sangat ingin segera keluar.
"Yah, tidak terlalu menyakitkan lagi, bukan?"
Tuan Tampubolon berdiri, mengambil kontrak perjanjian dan memasukkannya ke dalam laci 'Masuk'.
"Saya berharap dapat bertemu Anda pada hari Senin. Tim kami benar-benar menantikan untuk bekerja dengan seseorang sekaliber Anda. Saya hanya berharap Anda tidak menganggap kota kami tidak terlalu membosankan."
Dia mengembalikan paspor Githa dan salinan kontrak.
Nada berjuang untuk berdiri. Jari-jari kakinya tergelincir ke ujung runcing sepatu lancip, menjepitnya di dalam ruang sempit terbatas.
"Saya menantikannya, Tuan Tampubolon. Sampai jumpa hari Senin."
Mereka saling mengulurkan tangan ke seberang meja untuk berjabat tangan. Nada hampir saja menjatuhkan dokumennya.
Tiga langkah ke pintu, jantung berhenti sejenak ketika tangannya menyelip di kenop pintu, lalu dengan hembusan udara segar, dia keluar dari gedung, melewati semua mata yang menatap dan di jalan.
Nada melambaikan tangan untuk menyetop taksi.
Oh, betapa hebatnya dia! Dua puluh tahun berhemat, menyeka pantat dan hidung beringus. Bertahun-tahun mendengarkan Githa dan kisah suksesnya yang luar biasa! Tentu saja saudara kembarnya tidak menyiksa tubuhnya dengan anak-anak .....
Kemarahannya mendidih ketika dia melihat Githa dan John berpegangan tangan, traveling bag di kaki keduanya, meratap bahwa mereka tidak sanggup melawannya lagi.
Bukankah untuk bermain perlu dua orang? Mata ganti mata, nyawa ganti nyawa!Â
Saudari kembar berbagi segalanya, bukan?
Bandung, 5 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H